My Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, April 24, 2014

Dinamika Bahasa Simalungun Dialek Bandar

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
(Telah Diterbitkan Di Majalah Sauhur Edisi IX Tahun 2008)

Pengantar
Bahasa Simalungun merupakan media tutur bagi komunitas suku yang mendiami beberapa daerah di kabupaten dan kota di Sumatera Utara, meliputi Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar sebagai wilayah sentral, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi, Deli Serdang dan Kota Lubuk Pakam, sebagian Asahan, dan Batu Bara. Bahasa Simalungun sebagai bahasa ibu memiliki peranan penting dalam memaknai kepribadian orang Simalungun atau memanifestasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan Simalungun, baik secara abstrak maupun konkrit.

Petrus Voorhoeve (1955) dalam uraiannya tentang bahasa Batak menyatakan, bahasa Batak dibagi ke dalam 2 rumpun, yaitu rumpun utara (Pakpak, Karo, dan Alas) dan selatan (Toba dan Mandailing-Angkola). Dari kedua rumpun itu, bahasa Simalungun tidak termasuk ke dalam salah satunya, tetapi ia, jelas Voorhoeve, berdiri di antara keduanya, utara maupun selatan. Pada penelitian lanjutan yang dilakukan Adelaar (1981), ia menyatakan bahasa Simalungun sejatinya berasal dari rumpun selatan, yang kemudian memisahkan diri (tidak diketahui penyebabnya) sebelum bahasa Toba dan Mandailing-Angkola terbentuk. Dari uraian ini penulis menyimpulkan bahasa Simalungun lebih tua usianya dibanding ketiga bahasa tersebut, terbukti bahasa Simalungun telah berwujud sebelum ketiga bahasa Batak lainnya terbentuk. Selaras dengan itu, Uli Kozok (1999: 14) menyatakan jika ditilik dari persebaran bahasa dan aksara Batak, bahasa dan aksara Simalungun menurutnya jauh lebih tua dibanding bahasa dan aksara Batak yang lain.

Dalam perkembangannya bahasa Simalungun terus mengalami dinamisasi seiring dengan dinamika hidup yang dilalui masyarakat Simalungun. Beragam fenomena hidup dan pergolakan budaya yang berkepanjangan mulai dari konflik sosial, perpindahan penduduk (migrasi), pernikahan, dan proses asimilasi mengakibatkan pergeseran demi pergeseran terjadi secara berangsur-angsur tanpa ada unsur kesengajaan. Konflik sosial di Simalungun pada zaman dahulu bukanlah suatu keniscayaan, kenyataan sejarah telah membuktikan Kerajaan Raya pada masa Raja Rondahaim Saragih dengan bantuan Partahi pernah memerangi Kerajaan Sidamanik hingga menghanguskan jasad Raja Itok (Tuan Na Hu Langit) dan menewaskan sejumlah kerabat lainnya. Seorang penyumpit burung (pangultop) dari tanah Pakpak dengan kecerdikannya berhasil merebut tahta Pertuanan Purba dari tangan Tuan Simalobong Purba Dasuha. Pertikaian sesama saudara ditunjukkan oleh Raja Rubun kepada saudaranya Tuan Suha Bolag, juga perselisihan antara Purba Sidadolog dengan Sidagambir.

Faktor pemicu terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat Simalungun umumnya ditengarai oleh adanya ketidakadilan, ketidakseimbangan, kecemburuan, dan diskriminasi, hal ini ternyata sudah membudaya dan menyatu dalam sendi-sendi kehidupan mereka sejak berabad-abad lamanya dengan beragam peran dan perilaku yang mereka lakoni. Di samping konflik sosial, migrasi dan eksodus besar-besaran dahulu pernah pula terjadi, hal ini diakibatkan mewabahnya penyakit sampar (sejenis kolera) di tengah-tengah mereka yang kala itu dianggap sebagai penyakit yang sangat menakutkan dan sulit untuk terobati. Sebagai solusi mereka kemudian memutuskan mengungsi ke luar daerah, ada yang bertolak ke pulau Samosir, Humbang, Silindung, dan ke Toba. Kelompok lain ada pula yang merantau ke tanah Karo, Deli, Serdang, Padang, Bedagai, Asahan, dan Batubara hingga sampai ke pesisir Selat Malaka. Ketika sampai di perantauan mereka lalu berbaur dengan masyarakat setempat, penyerapan dan perpaduan budaya pun tak terelakkan hingga beregenerasi. Ketika penyakit epidemik itu berakhir, sebagian orang Simalungun kemudian kembali ke kampung halaman mereka, namun tidak sedikit pula yang tetap bertahan di tanah perantauan. Akibat dari eksodus ini, banyak perubahan yang terjadi pada tatanan kehidupan orang Simalungun mulai dari pola hidup, praktik adat istiadat, identitas marga, penggunaan bahasa, dan ideologi.

Beranjak dari fenomena di atas merupakan pemicu lahirnya ragam bahasa berbentuk dialek dalam bahasa Simalungun. Adapun ragam dialek yang dimaksud yaitu dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Panei, Sin Purba, dan Sin Bandar. Dialek Sin Raya dituturkan oleh masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Raya dan Raya Kahean, dialek Sin Dolog dituturkan di Kecamatan Dolog Silou dan Bangun Purba. Sementara untuk dialek Sin Panei dituturkan di Kecamatan Panei, Panombeian Panei, dan Siantar. Dialek Sin Purba dituturkan di Kecamatan Purba, Haranggaol Horisan, Silimakuta, dan Pamatang Silimakuta. Terakhir dialek Sin Bandar dituturkan oleh masyarakat di Kecamatan Bandar, Pamatang Bandar, Bandar Huluan, dan Bandar Masilam serta meluas sampai ke Kecamatan Gunung Malela dan Gunung Maligas, di mana keduanya dahulu merupakan daerah Pertuanan (landscape) dari Distrik Siantar, Dolog Batu Nanggar (Distrik Panei), dan Bosar Maligas (Distrik Tanoh Jawa). Sebagaimana telah dikemukakan pada tulisan terdahulu (Sauhur, Edisi I-II Tahun 2007), dari sekian dialek yang menempati posisi sebagai tolok ukur dan acuan standard berbahasa Simalungun adalah dialek Raya, mengapa? Karena dialek Raya diakui sebagai bahasa yang terbentengi dari pengaruh bahasa di sekelilingnya seperti bahasa Karo, Toba, Mandailing-Angkola, Melayu, dan juga Jawa.

Dialek Bandar
Sebagaimana uraian di atas, sentra penutur dialek Bandar ini mendiami daerah yang secara topografis berada di daerah dataran rendah (hataran) dan hilir (kaheian/jahei) dengan kehidupan sosial masyarakat yang kerap mengadakan kontak dengan masyarakat Melayu di perbatasan Simalungun–Asahan. Komunikasi di antara mereka sudah berlangsung selama ratusan tahun, sehingga tidak menutup peluang terjadinya transformasi budaya dan ideologi, seperti halnya di Kecamatan Bandar Masilam sebagian besar masyarakat Simalungun berbicara dengan bahasa Melayu. Fenomena itu tidaklah mengindikasikan adanya gap dengan komunitas Simalungun yang lain, terutama mereka yang berdomisili di daerah bagian atas (huluan), kenyataan sejarah membuktikan Bandar dahulunya merupakan suatu kerajaan yang sejajar posisinya dengan kerajaan Simalungun lainnya seperti Dolog Silou, Panei, Tanoh Jawa, Siantar, Purba, Silimakuta, dan Raya. Dalam tatanan adat pernikahan, Bandar merupakan “Anak Boru” dari Kerajaan Raya, karena secara organisatoris yang berhak memangku kedudukan sebagai raja di Kerajaan Bandar mesti dilahirkan dari Puang Bolon boru Saragih yang berasal dari Kerajaan Raya.

Jika dilakukan perbandingan dengan pelbagai dialek Bahasa Simalungun yang ada, agaknya dialek Bandar lebih dekat kemiripannya dengan dialek Raya baik ditinjau dari logat, intonasi (langgam) maupun kosa kata. Dari perbandingan kosa kata antara keduanya terlihat secara jelas kemiripan dan ketidakmiripan. Namun, bila dilampirkan secara detail seluruh kosa kata pada kedua dialek, dihasilkan persentase kemiripan lebih menonjol ketimbang ketidakmiripan. Pemakaian kosa kata ini menyebar di beberapa titik daerah, adapun sebagai basis pengguna dialek ini yaitu mereka yang berdomisili di Kecamatan Pamatang Bandar, yang dahulu merupakan ibukota dari Kerajaan Bandar. Masyarakat penutur dialek bandar, mengakui banyak kosa kata yang mengalami perubahan dari bentuk aslinya, dan tidak sedikit pula kosa kata yang dahulu sering digunakan, namun kini sudah jarang dipakai.

Pemakaian kata ganti kepunyaan (posesif) -ni dan -si, lalu fonem akhir h, g, d, b, ui, ou, ei masih konsisten terdapat dalam bahasa Simalungun Sin Bandar. Selain itu, dialek Sin Bandar juga mengenal aksara khusus nya, penggunaan aksara ini sangat akrab digunakan dalam komunikasi, secara teoretis aksara ini diletakkan pada kata kerja dasar (infinitif) yang diawali huruf s dan didahului dengan imbuhan maN- dan paN- seperti pada kata manungkun menjadi manyungkun, manisei—manyisei, manuan—manyuan manerleng—manyerleng. Untuk kata yang berimbuhan paN- terlihat pada kata panungkun—panyungkun, panisei—panyisei, panuan—panyuan, panerleng—panyerleng. Bila merujuk pada aksara Simalungun yang jumlahnya 19 huruf (surat sappuluh siah) aksara ini memang ada ditemukan, namun dalam praktik komunikasi hampir tidak pernah digunakan, barangkali hanya dialek Sin Bandar saja yang mengenal penggunaan aksara ini.

Berkaitan dengan seni sastra, dialek Bandar mengenal cukup banyak kesusasteraan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, di antaranya ada yang digubah ke dalam bentuk nyanyian seperti Doding Mananggei (di luar Bandar menyebutnya dengan Taur-taur Simbandar) dan Inggou Simbandar. Ada pula yang yang disajikan dalam bentuk prosa (turiturian) seperti turiturian Bah Tobu, Tuan Simalango, Keramat Kubah, Pak Boru Na Martuah dan masih banyak cerita rakyat yang lain. Di Bandar juga ditemukan beberapa peninggalan dalam bentuk tulisan, di antaranya Pustaha Parmongmong Bandar Sakuda, pustaha ini terakhir diwarisi oleh Tuan Alip Damanik Bariba.

Pengaruh dan Latar Belakang
Pada era dewasa ini pemakaian dialek Bandar sebagai bahasa komunikasi secara perlahan telah mengalami pergeseran, sebagian besar masyarakat lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dan sebagian lagi ada yang lebih gemar berbahasa Jawa, hal ini terjadi disebabkan derasnya pengaruh komunitas suku Jawa yang populasinya lebih besar ketimbang suku Simalungun, keadaan ini mendeskripsikan bahwa komunitas Simalungun di daerah ini mengalami himpitan berat yang sudah terlanjur basah sulit untuk dibebaskan. Hakikatnya jika melihat pada situasi saat ini pengguna bahasa Simalungun khususnya dialek Sin Bandar hanya tinggal segelintir saja jumlahnya bila dibandingkan dengan mereka yang sudah beralih (salih) ke bahasa lain.

Selain itu, dialek Bandar juga banyak dipengaruhi bahasa Toba, pada daftar perbandingan kosa kata di atas terlihat adanya beberapa kemiripan kosa kata. Keberadaan komunitas suku Toba di daerah Bandar jumlahnya juga cukup signifikan dan pengaruh bahasa mereka secara otomotis juga sulit dibendung, namun karena perbedaan keyakinan ideologi di antara kedua komunitas pergaulan di antara mereka pun tidak seutuhnya berjalan efektif, meski mereka hidup berdampingan. Masuknya imigran Toba ke Simalungun terutama ke Bandar diawali sejak melemahnya kekuatan Raja Bandar membendung arus imigrasi kaum pendatang, sehingga memicu meledaknya perpindahan penduduk secara besar-besaran baik yang datang dari Tapanuli Utara maupun Tapanuli Selatan. Hal ini sudah berlangsung lama, namun derasnya gelombang migrasi ini terjadi pada masa kepemimpinan Raja Bandar ke-6, Tuan Sawadim Damanik. Lemahnya kekuatan Raja Bandar tidak lain disebabkan taktik politik kaum Kolonial Belanda (Devide et Impera), di mana menjadikan mereka (para Raja Bandar) sebagai boneka yang bisa diatur dan dikelabui demi tercapainya tujuan mereka, pihak kolonial.

Strategi kolonial ini ternyata berjalan mulus, dan akhirnya pasca diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia, berbondong-bondong masyarakat Simalungun menentang dan meruntuhkan kedaulatan para raja dengan mengusung isu feodalisme dan anti-kolonial dengan sebutan Revolusi Sosial. Kerajaan Bandar yang kala itu sudah dipangku oleh Tuan Distabulan Damanik ternyata tak luput dari ancaman, dengan bantuan sekelompok orang Toba, ia berhasil menyelamatkan diri. Atas bantuan  mereka, Distabulan kemudian menghadiahkan kepada mereka beberapa bidang tanah untuk dijadikan pemukiman.

Terkait eksistensi Suku Tapanuli di Simalungun, khususnya di Bandar, keberadaan mereka ternyata mendapat tantangan dan kecaman yang besar dari suku pribumi (Simalungun) mereka tidak begitu saja mau menerima kehadiran mereka, suku Tapanuli, terbukti tidak sedikit dari mereka yang dijadikan sebagai budak belian para raja dan kelompok masyarakat biasa (paruma). Untuk meredam hal ini, maka banyak dari mereka yang berafiliasi dengan orang Simalungun, menyembunyikan jati diri asli mereka dan mengaku sebagai orang Simalungun. Di antara marga-marga Tapanuli yang berafiliasi dengan marga Simalungun di wilayah kedaulatan kerajaan Bandar, yaitu Silalahi (Simandalahi), Sipayung, Tambunan (Tambun), Manurung, Sitorus, Sirait, Butar-Butar (Sidabutar), dan Sinurat. Marga-marga ini umumnya menyatukan diri ke dalam sub marga Sinaga.

Berbagai pergolakan yang terjadi merupakan penyebab dasar lumpuhnya kekuatan Simalungun, sehingga berimplikasi pada ketidakpercayaan diri untuk mempertahankan apa yang menjadi hak mereka. Sebagai contoh seorang Simalungun akan menjadi Toba bila bergaul dengan orang Toba, demikian juga ia akan menjadi Karo bila sering berhubungan dengan orang Karo, begitulah seterusnya. Proses penyatuan diri yang kerap dilakukan orang Simalungun ke dalam komunitas lain, secara otomatis akan menghapuskan jati diri mereka sebagai orang Simalungun, barangkali ia akan merasa enggan berbicara dalam bahasa Simalungun, berbudaya ala Simalungun, dan lebih lanjut ia pun akan dengan mudahnya mengganti marganya dengan marga dari komunitas yang ia masuki. Sungguh memilukan…!!!

Simpulan
Dari sekelumit uraian di atas disimpulkan bahwa Bahasa Simalungun mengenal beberapa dialek yang tersebar di seluruh Kabupaten Simalungun bahkan menembus sampai ke luar. Masing-masing dialek satu sama lain memiliki perbedaan, bahkan dalam melakukan komunikasi antar silang dialek mereka tidak saling memahami. Di wilayah Bandar yang secara geografis berbatasan dengan daerah Melayu Asahan-Batubara, komunikasi dalam bahasa Simalungun masih tetap eksis digunakan, namun demikian pengaruh bahasa Melayu sedikit banyak turut mewarnai perkembangannya, itu terlihat dari kosa kata (leksikal) dan sistem bunyi (fonetik) yang terdapat di dalamnya. Selain itu dialek Sin Bandar juga mendapat pengaruh dari bahasa Toba dan Jawa. Maka bukanlah suatu pemandangan yang mengherankan bila di beberapa titik di wilayah Bandar dijumpai sekelompok masyarakat yang lebih aktif menggunakan bahasa Toba atau Jawa ketimbang bahasa Simalungun.

Pergolakan sosial-politik dan budaya yang menyelimuti suku Simalungun selama berabad-abad sangat berperan dalam menggilas dan melumpuhkan kebudayaan Simalungun, hal ini berimplikasi buruk pula terhadap perkembangan bahasa. Kepribadian mereka yang selalu bertimbang rasa dan merasa terisolir yang kerap diperankan orang Simalungun mengakibatkan diri dan apa yang mereka miliki praktis terabaikan.

Sejarah Lahirnya Marga Tarigan

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Pendahuluan 
Tarigan merupakan salah satu marga induk pada suku Karo, marga ini berawal dari marga Purba bagian dari etnis Simalungun yang muncul pada masa Kerajaan Silou. Hingga hari ini masih banyak di kalangan mereka yang merasa orang Simalungun, terutama yang masih menetap di tanah Simalungun. Missionaris Karo J.H. Neumann, dalam bukunya berjudul Bijdrage tot de Geschiedenis van der Karo-Batakstammen, 1. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Deel 82: 1-36 dan Bijdrage tot de Geschiedenis van der Karo-Batakstammen, 2. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Deel 83: 162-180 yang diterbitkan tahun 1926 dan 1927 dalam bahasa Belanda dan telah dialihkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Sejarah Batak-Karo: Sebuah Sumbangan terbit tahun 1972. Ia menyatakan bahwa marga Tarigan tidak memainkan peranan penting di tanah Karo kecuali Karokaro Purba yang menjadi Sibayak di Urung XII Kuta Kaban Jahe yang masih bersaudara dengan Tarigan. Perlu diketahui bahwa golongan marga Tarigan yang berasal dari Simalungun sejak awal terbentuknya bernaung dibawah kerajaan di Simalungun mulai dari Kerajaan Silou, Dolog Silou, Purba, dan Silima Huta, di antara mereka menggunakan gelar Tuan sebagai penguasa di tingkat Perbapaan dan Pertuanan. Berbeda dengan kelompok Tarigan Sibero yang datang dari Tungtung Batu, mereka bernaung kepada Sibayak Sarinembah. Pada awalnya marga Tarigan tidak mengenal cabang marga seperti yang berlaku saat ini, lahirnya sejumlah cabang Tarigan terjadi pasca peralihan sejumlah cabang marga Purba dari Simalungun dan Pakpak. Adapun cabang Tarigan yaitu Tua, Tambak, Silangit, Gerneng, Girsang/Gersang, Sahing, Ijuk, Sibero, Tambun, Tendang/Tondang, Purba Cikala, Pekan, Jampang, Bondong, dan Ganagana. 

Gambar 1: Peta daerah asal sejumlah cabang marga Tarigan di Simalungun. (Peta di bawah dilukis oleh Betman Tarigan Tambak asal Tambak Bawang) 

Mereka berasal dari sejumlah perkampungan di tanah Simalungun dan juga Pakpak, Tarigan Tambak datang dari kampung Tambak Bawang, Bawang, Ujung Bawang, dan Tingkos di Kecamatan Dolog Silou. Kemudian Tarigan Silangit menyebar dari kampung Panribuan, Toras, Saran Padang, dan Langit Sinombah di Kecamatan Dolog Silou serta dari Gunung Mariah di Deli Serdang. Sementara Tarigan Gerneng hanya berasal dari satu kampung yaitu Tingkos (Cingkes sekarang). Sedang Tarigan Tua berawal dari dari kampung Purba Tua, Purba Tua Bolag, dan Purba Tua Etek di Kecamatan Silima Huta. Demikian juga Tarigan Girsang/Gersang dan pecahannya yaitu Tarigan Sahing dan Tarigan Ijuk pindah ke tanah Karo melalui Naga Saribu dan Saribu Jandi di Kecamatan Silima Huta. Kelompok Tarigan lainnya seperti Tarigan Tambun, Tarigan Tendang/Tondang, dan Tarigan Purba/Cikala datang dari kampung Binangara, Hinalang, dan Purba Hinalang di Kecamatan Purba. Lalu Tarigan Sibero datang dari Tungtung Batu Kecamatan Silima Punggapungga Dairi. Perpindahan mereka umumnya didorong oleh adanya hubungan perkawinan dan memperluas area pertanian serta mencari kehidupan baru. Sebagian karena diundang sebagai tabib dan juga untuk menghalau musuh.

Akibat dari perpindahan ini, kampung asal mereka menjadi sunyi, kampung Tambak Bawang sekarang sudah bergeser beberapa kilometer dari kampung Tambak Bawang lama yang dahulu berada di sekitar pemandian puteri Si Boru Hasaktian yang kini disebut Pancur Beru Tarigan, di sekitar kawasan ini sekarang menjadi area perladangan. Demikian juga penduduk kampung Toras dari golongan Tarigan Silangit banyak yang pindah ke Panribuan, sehingga Toras berubah jadi area perladangan. Mereka juga meninggalkan kampung Langit Sinombah menuju Saran Padang dan sebagian dari Panribuan juga pindah ke Saran Padang. J.H. Neumann menjelaskan bahwa di Juhar terdapat sejumlah perkampungan yang dihuni marga Tarigan yaitu Keriahen, Betung, Kuta Mbelin, Pergendangen, Kuta Galuh, dan Juhar. Terjadinya perpindahan massal golongan Tarigan ke tanah Karo sehingga menjadikan mereka bagian dari etnis Karo, sementara yang masih menetap di tanah Simalungun seperti di Kecamatan Silima Huta dan Dolog Silou, juga di Deli Serdang yaitu di Kecamatan Gunung Mariah dan Bangun Purba tetap mengaku etnis Simalungun. Namun pasca kemerdekaan hingga meletusnya Revolusi Sosial di Sumatera Timur 3 Maret 1946, terjadi perubahan sosial yang sangat drastis di tengah masyarakat Simalungun. Pada masa ini, demi keselamatan diri dari ancaman revolusi, banyak komunitas Tarigan baik yang tinggal di Simalungun maupun Deli Serdang melebur ke dalam etnis Karo. Sebagian pergi mengungsi ke tanah Karo, selebihnya tetap bertahan di kampung halaman mereka.

Gambar 2: Kampung Panribuan di Kecamatan Dolog Silou tahun 1917

Perkembangan Marga Tarigan 
Tarigan Tambak berasal dari Purba Tambak, leluhur marga ini merupakan penguasa Kerajaan Silou dan Dolog Silou, di Simalungun marga ini terbagi menjadi Tambak Bawang, Tambak Tualang, dan Tambak Lombang, yang banyak menyebar ke tanah Karo dari golongan Tambak Bawang. Selain itu, pada masa lalu leluhur Purba Tambak dan Tarigan Tambak juga pernah menjadi raja di Tambak Binongon, dari sinilah lahir kelompok Purba Sidasuha yang mendirikan Pertuanan Suha Bolag dan Kerajaan Panei. Akibat terjadinya perselisihan, keturunan Purba Sidasuha terpecah lagi menjadi Purba Sidadolog dan Purba Sidagambir. Di daerah Tingkos sekarang masih terdapat peninggalan leluhur Purba Tambak dan Tarigan Tambak berupa kolam bernama Tambak Lau Burawan yang dimiliki secara bersama-sama dengan Tarigan Purba Cikala, selain itu di Tambak Bawang juga ditemukan peninggalan yang sama yaitu Tambak Sumbul dan Pancur beru Tarigan. Untuk makam raja-raja Silou bisa disaksikan di Silou Buntu Kecamatan Raya Simalungun yang berada di atas bukit yang ditandai sebuah monumen batu setinggi setengah meter yang menggambarkan seorang kesatria menunggang kuda sebagai pintu masuk menuju makam. Sedang makam raja-raja Dolog Silou berada.di Barubei dan Pamatang Dolog Silou yang ditaruh dalam peti kayu, pemakaman ini sudah dibangun dengan baik semasa hidup Raja Dolog Silou terakhir Tuan Bandar Alam Purba Tambak yang dinamakan Balei Hubur. Pada zaman dahulu, Raja Silou memiliki beberapa orang putera, salah seorang di antaranya membentuk perkampungan di Tambak Bawang yang pada masa itu penuh dengan rawa-rawa. Di tempat ini, ia membuat sebuah kolam dan menamakannya Tambak Bawang artinya kolam terbuat dari rawa-rawa. Sejak itu marganya lebih dikenal dengan sebutan Purba Tambak Bawang, ia menikah dengan puteri Karo dari Sukanalu dan memperoleh lima orang anak. Putera sulungnya bergelar Ompung Nengel yang memiliki gangguan pendengaran, putera kedua adalah seorang yang sakti, sepeninggalnya sosoknya dikeramatkan (sinumbah). Adik mereka yaitu Nai Horsik, Si Boru Hasaktian (pemilik pemandian keramat yang ada di Tambak Bawang), dan putera bungsu pergi ke Sukanalu ke kampung pamannya marga Sitepu, keturunannyalah Tarigan Tambak yang ada di Sukanalu dan Kebayaken. Ompung Nengel merupakan leluhur Tarigan Tambak yang ada di Tambak Bawang dan Bawang, sepeninggal ayahnya ia meneruskan jabatan sebagai kepala kampung (pangulu) Tambak Bawang. Sedang adiknya Nai Horsik pergi ke timur dan sampai di Silou Buntu, ia menikah dengan puteri Raja Nagur dari klan Damanik dan melahirkan putera bernama Jigou. 
Gambar 3: Hasil sketsa monumen batu setinggi setengah meter yang menggambarkan seorang kesatria menunggang kuda yang dilukis oleh G.L. Tichelman tahun 1921 (kiri) dan bentuk aslinya berhasil ditemukan oleh tim Komunitas Jejak Simalungun (kanan) pada 15 November 2014. Monumen ini menjadi pintu masuk menuju tempat penyimpanan tulang belulang leluhur raja-raja Silou. Asisten Residen Simalungun dan Karo J. Tideman juga pernah mengunjungi dan melakukan penelitian terhadap situs ini

Dalam naskah kuno (chronicle) Partingkian Bandar Hanopan peninggalan Kerajaan Dolog Silou yang disimpan oleh Tuan Bandar Hanopan dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda oleh Taal Ambtenaar (pegawai bahasa Belanda) Dr. Petrus Voorhoeve dan pertama kali disebutkan dalam literatur oleh G.L Tichelman (Deli Courant 1936/07/03). Kronik tersebut mengisahkan bahwa Tuan Sindar Lela bertemu dengan Puteri Hijau di aliran Sungai Petani dekat pohon tualang di sekitar Deli Tua. Sindar Lela memiliki keahlian berburu dan juga pemancing yang handal sehingga ia digelari dengan Pangultopultop, hal inilah yang menginspirasi lahirnya simbol Purba Tambak dan Tarigan Tambak yaitu ultop (sumpit) dan bubu (alat penangkap ikan); keturunanya disebut Purba Tambak Tualang. Pertemuan Puteri Hijau dengan Sindar Lela terjadi pada waktu Aceh menyerang Haru. Keduanya menjalin hubungan saudara, Sindar Lela kemudian membawa Puteri Hijau ke Sinembah untuk mencari perlindungan, namun Datuk Sinembah keberatan. Dari sini, mereka pergi ke Haru. Sultan Haru rela membantu asalkan Puteri Hijau bersedia menjadi permaisurinya. Mendengar Puteri Hijau berada di Haru, Sultan Aceh mengirim armada untuk menyerang Haru sekaligus membawa Puteri Hijau kembali ke Aceh. Setelah berhasil menghancurkan Haru, Puteri Hijau diboyong ke Aceh, sultan lalu membujuknya agar rela menjadi isterinya, keinginan ini diterima oleh Puteri Hijau namun dengan syarat Sultan Aceh segera memberikan legitimasi kepada saudaranya Sindar Lela menjadi raja di Kerajaan Silou. 

Gambar 4: Raja Dolog Silou, Tuan Tanjarmahei Purba Tambak tahun 1920 yang merupakan raja dari golongan Tarigan Tambak, Tarigan Tua, Tarigan Gerneng, dan Tarigan Silangit 

Setelah ditabalkan menjadi raja, Sindar Lela kembali ke Simalungun dan mendirikan kampung Silou Bolag. Ia menikah dengan puteri Raja Nagur bernama Ruttingan Omas dan melahirkan dua orang putera, yang sulung bernama Tuan Tariti dan yang bungsu bernama Tuan Timbangan Raja. Anak yang sulung menggantikan ayahnya sebagai raja di Silou Bolag, sementara yang bungsu pindah ke Silou Dunia dan menjadi Raja Goraha Silou. Sindar Lela juga mengambil puteri Raja Pohan dari Banua yang disebut Puang Toba. Putera bungsunya, Tuan Timbangan Raja menikah dengan Bunga Ncolei puteri Penghulu Pintu Banua dari Barus Jahe dan melahirkan dua orang putera dan seorang puteri. Salah seorang puteranya kemudian mendirikan kerajaan dekat jurang di tanah Raja Marubun di tepi Bah Karei berbatas dengan Rih Sigom dan Sibaganding dekat Bangun Purba, keturunannya kemudian bergelar Purba Tambak Lombang. Tuan Timbangan Raja juga menikah dengan puteri Raja Nagur dari Parti Malayu klan Damanik dan hanya melahirkan seorang putera. Pada masa terjadinya konflik antara Silou dengan Aceh karena perebutan Gajah Putih, Silou mengalami kekalahan. Sebagai tebusan, pasukan Aceh memboyong Raja Marubun, permaisuri Tuan Silou Dunia, dan sepasang anaknya. Sedang dua puteranya yang lain berhasil menyelamatkan diri, keduanya bergelar Raja Goraha Silou dan Raja Anggianggi. Setelah berada di Aceh, putera Tuan Silou Dunia mampu merebut hati Sultan Aceh sehingga dijadikan menantu lalu didudukkan sebagai penguasa di Tarumun, Aceh Selatan. 

Gambar 5: Situs Gajah Putih peninggalan Raja Silou,
patung ini dibuat di Bongguran (Nagori sekarang) dan dicat putih sehingga disebut “Gajah Putih". 
Raja Silou lalu memerintahkan agar menutup patung tersebut dengan tanah, sehingga tidak lagi tampak

Raja Dolog Silou terakhir Tuan Bandar Alam Purba Tambak dalam bukunya "Sejarah Keturunan Silou" menyebutkan bahwa Tuan Rajomin Purba Tambak bergelar Nai Horsik putera Tuan Bedar Maralam juga menikah dengan puteri Sibayak Barus Jahe. Di mana acara pernikahan mereka diadakan di kampung Barubei, pada waktu itu hadir Penghulu Tanjung Muda, Tambak Bawang, Purba Tua, Partibi Raja, Huta Saing, dan Purba Sinombah. Selain dengan puteri Sibayak Barus Jahe, Tuan Rajomin juga mengambil puteri Raja Pohan dari Banua sebuah kerajaan di daerah Toba, saudara perempuan dari Raminta sebagai isteri. Namun belakangan, pihak Barus juga turut menikahi puteri Purba Tambak. Dua orang puteri Tuan Lurni bernama Panak Boru Tobin dan seorang lagi disebut Bou dijadikan isteri oleh Milasi Barus, Penghulu Tanjung Muda. Dari Panak Boru Tobin lahir tiga orang anak laki-laki bernama Sakka Barus, Tombaga Barus, Kudakaro Barus, dan seorang perempuan bernama Tapiorei beru Barus yang kemudian kawin dengan Tuan Duria Purba Silangit, Penghulu Gunung Mariah dan melahirkan seorang putera bernama Tuan Samperaja Purba Silangit. Kemudian putera Tuan Lurni bernama Tuan Dormagaja memiliki enam orang anak, pertama bernama Tapiara kawin dengan Laut Sipayung melahirkan Garain, kedua Tamin yang menikah dengan Tombaga Barus dan memperoleh putera bernama Martika Barus. Ketiga Hamura kawin dengan Andim Sipayung dan melahirkan Morgailam Sipayung, Keempat Loin kawin dengan Jimat Sipayung, dari hasil pernikahan keduanya lahir Kawan Sipayung. Kelima Rabini kawin dengan Ramauli Barus dan keenam bernama Arbun kawin dengan Taris Barus. Selanjutnya puteri Tuan Dorahim bernama Panak Boru Bungalou kawin dengan Sakka Barus dan memperoleh anak laki-laki bernama Jotar Barus, dan tiga anak perempuan bernama Dingin, Renep, dan Langges. Selanjutnya, putera Tuan Lurni bernama Tuan Tanjarmahei memiliki tiga puluh orang anak dari beberapa orang isteri, di antaranya boru Saragih Simarmata dari Purba Saribu dan kedua bernama Bungalain boru Saragih Garingging puteri Raja Raya. Salah seorang puteranya bernama Tuan Huala memiliki lima orang isteri, dari isteri keempat bernama Ragi boru Saragih melahirkan tiga orang puteri bernama Rainggan kawin dengan Tandang Sipayung, Tarmulia kawin dengan Bolong Barus, dan Parpulungan kawin dengan Banci Sinulingga. Sedang dari isteri kelima bernama Ikim boru Saragih lahir seorang puteri bernama Ramaidah yang kawin dengan Tolap Barus. Puteri Tuan Tanjarmahei bernama Panak Boru Linggainim kawin dengan Bintala Barus dan memperoleh tiga orang anak laki-laki bernama Rajanimbang kawin dengan Tiomina boru Tarigan Tua, Nokoh kawin dengan Tamin boru Purba, dan Ingatbona kawin dengan Maria boru Bangun. Dari hasil pernikahan Rajanimbang dengan Tiomina boru Tarigan Tua lahir Dr. Ir. Takal Barus. (Purba Tambak, 1967: 23-30)

Gambar 6: Raja Dolog Silou, Tuan Ragaim Purba Tambak, putera Tuan Tanjarmahei Purba Tambak dan ayahanda dari Tuan Bandar Alam Purba Tambak.

Selain di tanah Simalungun dan Karo, marga Tambak juga ditemukan di daerah Padang Lawas dan Kota Pinang. menurut Nalom Siahaan B.A dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Batak menerangkan, akibat kehadiran marga Harahap mereka terdesak dan pindah ke Kota Pinang. Bila berkunjung ke Padang Lawas dan Mandailing, kita akan menemukan sejumlah perkampungan yang mengabadikan marga Purba seperti Bangun Purba, Purba Bangun, Tanjung Purba, Purba Sinomba, Purba Tua, Purba Lama, dan Purba Baru, apakah perkampungan ini ada kaitannya dengan keberadaan Purba Tambak di tempat ini, barangkali perlu penelitian lebih lanjut. Marga Tambak inilah yang ditemui oleh Batara Sinomba dan puteri Lenggani dari Pagaruyung. Dari kedua orang inilah cikal bakal lahirnya Kesultanan Kota Pinang, Bilah, Panai, Kualuh, dan Asahan. Pada tahun 2005 penulis pernah bertemu dengan salah seorang penyandang marga Tambak di Padang Lawas sewaktu berkunjung ke kampung halaman ipar penulis di Dusun Sipaho Desa Janji Matogu, Kec. Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara sekaligus mengunjungi komplek situs Candi Portibi. Keberadaan marga Tambak di Padang Lawas, mengingatkan penulis pada Kerajaan Panai yang pernah berdiri di lembah sungai Panai dan Barumun yang hancur oleh serangan Kerajaan Chola pada tahun 1025 Masehi. Kerajaan Panai merupakan kerajaan besar sebagai bukti kejayaan masa silam suku Batak di Sumatera Utara. 

Adapun Tarigan Gerneng berasal dari Purba Sigumondrong keturunan Purba Tambak yang lahir dari boru Saragih Simarmata, marga ini berawal dari kampung Tingkos. Dari Tingkos inilah keturunannya menyebar ke tanah Karo. Sementara Tarigan Silangit berasal dari Purba Silangit, keturunannya yang pindah ke tanah Karo datang dari kampung Toras, Panribuan, Saran Padang, dan Langit Sinombah. Dari sini mereka menyebar ke tanah Karo, sebagian lagi bergerak ke Deli Serdang menduduki daerah Gunung Mariah, Bangun Sinombah, dan Bandar Sinombah hingga ke Bah Gerger di Lubuk Pakam. Dari Gunung Mariah, keturunannya pindah lagi ke tanah Karo. Pada zaman dahulu di sekitar Dolog Tinggi Raja di Kecamatan Silou Kahean pernah dikuasai leluhur mereka, konon terbentuknya cagar alam Dolog Tinggi Raja adalah akibat dari tragedi bencana banjir yang menimpa wilayah kekuasaan mereka, masyarakat setempat meyakini usai tragedi inilah sebagai awal mula munculnya massa air panas dan kawah putih di wilayah ini. Akibat bencana ini, keturunannya berhamburan keluar meninggalkan Dolog Tinggi Raja, ada yang pindah ke Raya, Toras, Langit  Sinombah, dan Purba Sinombah. Hingga saat ini masih ditemukan keturunan Purba Silangit mendiami daerah sekitar Dolog Tinggi Raja. Kemudian Tarigan Tua, marga ini berasal dari Purba Tua di Silima Huta Simalungun dan memiliki ikatan persaudaraan yang erat dengan Purba Tanjung di Sipinggan, simpang Haranggaol. Eksistensi marga ini ditandai dengan adanya kampung Purba Tua yang berada di Kecamatan Silima Huta yang kemudian terbagi menjadi Purba Tua Bolag dan Purba Tua Etek, dari sini keturunannya menyebar ke daerah Rahut Bosi (Rakut Besi sekarang), Tambak Bawang, dan Tingkos, dari tempat ini sebagian keturunanya menyebar ke tanah Karo. Marga inilah yang menerima kehadiran salah seorang keturunan marga Cibero dari Tungtung Batu yang pindah ke Juhar kemudian ditabalkan jadi Tarigan Sibero, peristiwa ini terjadi sekitar 500 tahun yang lalu.

Gambar 7: Tuan Ragaim Purba Tambak bersama para penasehat dan pengawalnya di depan Rumah Bolon di Pamatang Dolog Silou   

Tarigan Tendang atau sebagian menyandang Tarigan Tondang, berasal dari Purba Tondang. Tanah asal marga ini adalah Hitei Tanoh (Huta Tanoh sekarang) di Kecamatan Purba, marga ini memiliki hubungan erat dengan Purba Tambun Saribu. Keturunannya memperluas wilayah hingga sampai Hinalang dan Purba Hinalang. Dari sini menyebar lagi ke Rahut Bosi di Kecamatan Silima Huta terus ke tanah Karo. Sementara Tarigan Tambun, berasal dari Purba Tambun Saribu yang datang dari Binangara di Kecamatan Haranggaol Horisan. Marga ini bersaudara dengan Purba Tondang, perkembangannya berawal dari Silombu (tempat ini kini sudah berubah menjadi area perladangan) kemudian menyebar ke Binangara di Kecamatan Purba. Setiap tahun seluruh keturunan Purba Tambun Saribu dan Tarigan Tambun mengadakan pertemuan tahunan yang bertempat di Haranggaol dan tugu marga ini sudah dibangun di Binangara Kecamatan Haranggaol Horisan, Simalungun. Sedangkan Tarigan Purba Cikala atau Tarigan Cikala berasal dari Purba Hinalang, Simalungun pecahan dari Purba Pakpak. Leluhur marga ini pindah ke Dolog Silou dan mendirikan kampung Tanjung Purba dekat Tambak Bawang, dari sini menyebar ke tanah Karo. 

Cabang Tarigan lainnya yaitu Tarigan Sibero, leluhur marga ini datang dari Tungtung Batu termasuk tanah adat Suak Keppas Kecamatan Silima Punggapungga, Dairi. Ketua Sulang Silima marga Cibero yang tinggal di Tungtung Batu menjelaskan kepada penulis bahwa leluhur Tarigan Sibero dalam tarombo disebut dengan gelar Guru Melayu, dia memiliki dua orang anak, yang sulung bergelar Pangultopultop dan yang bungsu bernama Batu. Abangnya, Pangultopultop pergi berkelana ke Simalungun dan memasuki wilayah Kerajaan Panei dan mendirikan Kerajaan Purba dan mengidentifikasi dirinya dengan sebutan Purba Pakpak. Setelah Pangultopultop memiliki kekuasaan di Simalungun, dia mengundang adiknya agar datang mengunjunginya. Si Batu menerima undangan tersebut dan datang menyusul abangnya ke Simalungun. Setelah beberapa lama tinggal bersama abangnya, dia kemudian meminta izin untuk kembali ke Tungtung Batu untuk menjenguk orangtuanya yang sudah lama ditinggalkannya. Batu memiliki dua orang anak, pertama bernama Gondang dan kedua bernama Buah atau Suksuk Langit yang juga digelari dengan Pengelter atau disebut juga si Mbelin Gelang. Buah mengikuti jejak pamannya berkelana, dia pergi ke Singkil kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai di Tiga Binanga, dari sini ke Gunung Babo lalu turun ke Juhar. Pada masa itu sudah ditemukan kelompok Tarigan Tua di Juhar yang menjadi pihak menantu dari Ginting Munthe. Tarigan Tua menerima kedatangan si Buah di Juhar hingga ia ditabalkan menjadi Tarigan Sibero, ia kawin dengan puteri Peranginangin Pinem. Di Deli Serdang terdapat juga sejumlah keturunan Tarigan Sibero, mereka ini tidak berasal dari Juhar melainkan dari keturunan Purba Siboro yang datang dari Simalungun dan pulau Samosir.

Gambar 8: Raja Purba XII Tuan Rahalim Purba Pakpak didampingi para penasehatnya, ia merupakan raja bagi golongan Tarigan Tendang/Tondang, Tarigan Tambun, dan Tarigan Purba Cikala.

Tarigan Gersang, sebagian tetap menggunakan Tarigan Girsang. Mengenai asal marga ini ada tiga pendapat yang berkembang, pertama sebagian penyandang marga ini meyakini leluhur mereka berasal dari Lehu keturunan marga Cibero, kedua ada yang menyatakan keturunan Purba Sigulang Batu dari Humbang, ketiga ada yang mengaku berasal dari Sitampurung dekat Siborongborong keturunan marga Sihombing Lumban Toruan. Komunitas Girsang yang tinggal di daerah Silimakuta umumnya meyakini asal leluhur mereka datang dari Lehu. Posisi Girsang di Lehu adalah sebagai menantu dari marga Manik, sejarahnya diawali ketika si Girsang mengembara hingga akhirnya sampai ke Lehu, dia kemudian diangkat menjadi menantu oleh Raja Mandida Manik salah seorang penguasa di Suak Pegagan tanah Pakpak. 

Dari hasil investigasi penulis beberapa tahun yang lalu, di mana penulis mewawancarai salah seorang pengetua adat Pakpak marga Cibero. Ia menjelaskan bahwa Girsang adalah keturunan dari marga Cibero. Dia tinggal di sebuah bukit di kampung Lehu, kediamannya merupakan tanah pemberian Raja Mandida Manik, yang dalam istilah Pakpak disebut rading beru. Adapun nama leluhur pertama marga Girsang yg datang langsung dari Pakpak menurutnya ada dua orang, yaitu si Girsang dan Sondar Girsang, mereka ini keturunan kesebelas dari Raja Ghaib leluhur pertama marga Cibero. Asisten Residen Simalungun dan Karo, J. Tideman dalam bukunya Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra mengisahkan, leluhur Girsang berasal dari tanah Pakpak, suatu hari ia mengejar seekor rusa ke timur yang ditembaknya di Lehu; rusa tersebut dikejar oleh anjingnya sampai ke Dolog Tanduk Banua (Sipisopiso). Di tempat ini mereka kehilangan jejak, si Girsang melihat seekor kerbau putih (horbou jagat), sehingga dia menduga sedang berada di suatu perkampungan. Untuk memenuhi rasa penasarannya, dia bersama anjingnya lalu mendaki Dolog Tanduk Banua, namun karena sepanjang hari mereka tidak makan dan minum, mereka lapar dan haus  sehingga si Girsang duduk di bawah pohon dan meminum beberapa tetes embun yang jatuh dari daun, dia lalu bangkit berdiri. Anjingnya berjalan dengan menjulurkan lidahnya, si Girsang kemudian membantu hewan ini memetik cendawan merah dan memberikan kepadanya untuk dimakan, namun ternyata buah itu mengandung racun. Setelah dia memberikan cendawan putih, maka hewan itu pulih kembali seperti sebelumnya. Si Girsang mengetahui bahwa cendawan merah itu mengandung racun, sementara cendawan putih bisa digunakan sebagai obat penawar. 

Dari puncak gunung dia melihat sebuah kampung yang luas, tempat pemukiman marga Sinaga yang bernama Naga Mariah. Dia memasuki perkampungan itu dan salah seorang penduduk bersedia menerima si Girsang untuk menetap di rumahnya. Pada saat itu kampung Naga Mariah sedang terancam oleh serbuan musuh yang datang dari Kerajaan Siantar, mereka bermalam di dekat Dolog Singgalang. Mereka mengambil air dari lereng Dolog Singgalang, kini disebut Paya Siantar. Melihat kondisi ini, Tuan Naga Mariah lantas merasa sangat terancam, setelah mendengar berita ini, si Girsang lalu datang menemuinya. Dia mengajukan diri kepada Tuan Naga Mariah mampu menghancurkan semua musuhnya. Tuan Naga Mariah berkata, “Jika engkau berhasil menghancurkan mereka, maka saya akan menyerahkan puteri saya untuk engkau jadikan sebagai isteri”. Kemudian si Girsang memohon kepada Tuan Naga Mariah agar memerintahkan penduduknya mengumpulkan sebanyak mungkin duri, baik duri bambu, jeruk, rotan, pandan maupun tanaman lainnya. Si Girsang lalu memetik cendawan merah, merendamnya dalam air dan menaburkan duri ke dalamnya. Duri beracun tersebut lalu ditaburkannya di sepanjang jalan yang akan dilewati oleh pihak musuh, demikian juga air beracun dimasukkannya ke dalam Paya Siantar. Setelah para musuh bergerak menuju Naga Mariah, mereka terjebak dalam duri dan keracunan karena meminum air dari Paya Siantar, akibatnya mereka semua mati terbunuh. Si Girsang kemudian pergi menemui Tuan Naga Mariah dan berkata: ”Ada seribu lawan mati bergelimpangan di gunung itu”, sehingga gunung tersebut dinamakan Dolog Singgalang dan tempat itu disebut Saribu Dolog. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian mengangkatnya sebagai menantu, upacara pernikahan mereka dirayakan layaknya pernikahan seorang raja. Karena si Girsang belum memiliki rumah, untuk sementara dia tinggal di Rumah Bolon (rumah besar) di sebelah kiri rumah Tuan Naga Mariah.

Gambar 9: Tuan Dumaraja alias Pa Moraidup Purba Girsang, Raja Silima Huta pertama. Sebelumnya ia adalah Tuan Naga Saribu, sedangkan saudaranya Pa Ngasami menjadi Tuan Siturituri. Raja Silima Huta merupakan raja untuk golongan Tarigan Girsang/Gersang, Tarigan Sahing, dan Tarigan Ijuk. 

Akibat peristiwa ini, dia menjadi sosok yang sangat ditakuti dan terkenal sebagai dukun sakti dan ahli nujum yang memahami seni mencampur racun sehingga orang menyebutnya Datu Parulas. Setelah wafatnya Tuan Naga Mariah, tampuk kekuasaan beralih kepadanya, tidak lama kemudian dia mendirikan kampung Naga Saribu di sekitar lokasi di mana para musuh dari Siantar itu mati dan menjadikannya sebagai ibukota Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu Rahut Bosi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Naga Mariah. Sejak terjadinya suksesi kepemimpinan ini, masyarakat setempat bermarga Sinaga, akhirnya banyak yang mengungsi ke Batu Karang dan berafiliasi dengan marga Peranginangin Bangun. Dari isteri pertamanya Datu Parulas memperoleh empat orang putra, namun mereka belum bisa disebut sebagai putra raja, karena ayahnya belum menjadi raja. Mereka menjadi leluhur Tuan Rahut Bosi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, dan Mardingding. Setelah itu dia masih dikarunia dua orang putra, yang sulung membuka kampung Jandi Malasang, kemudian pindah ke Bage, di tempat ini dia membangun pasar dan balai yang mandiri. Si Bungsu mengikuti Datu Parulas dan menjadi penggantinya. Pada masa penjajahan Belanda, Bage berada di bawah Silima Huta. Keturunannya kemudian membelah diri menjadi beberapa cabang yaitu Girsang Rumah Bolon, Nagodang, Parhara, dan Rumah Parik. Keturunannya yang pindah ke tanah Karo membentuk dua kelompok yaitu Tarigan Girsang dan Tarigan Gersang, di antara keturunannya membentuk marga baru yang dinamakan Tarigan Sahing pekerjaannya berburu seperti leluhurnya dan Tarigan Ijuk bertugas menyadap aren dan memukul pohon sagu (Neumann, 1972: 43). Sebagian keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini dan menamakan Girsang Silangit. 

Selain itu masih ada cabang Tarigan lainnya seperti Tarigan Tegur menempati daerah Suka, Tarigan Pekan pecahan Tarigan Tambak di Suka Nalu, Tarigan Ganagana mendiami daerah sekitar Batu Karang. Kemudian Tarigan Bondong marga ini banyak ditemukan di daerah Lingga, disusul Tarigan Jampang yang mendiami daerah Pergendangen, dan terakhir adalah Tarigan Kerendam kemungkinan pecahan dari Tarigan Tua. Dari keturunan Tarigan Kerendam ini lahir seorang tokoh terkenal yang dianggap pahlawan bergelar si Nuan Kata, ada yang menyebutnya si Onan Katana, si Nongon Kata atau si Ngenan Kata. Ibunya dari kalangan marga Karokaro Ketaren, si Nuan Kata berasal dari Kuala. Karena diancam oleh pamannya dari Balesisi atau Banua Sini, ia melarikan diri menuju ke tempat pamannya di Padang Sambo. Di tempat ini, ia kawin dengan keponakannya, setahun kemudian ia pergi ke Sugo dan kawin lagi. Akibat ketidaksetiaannya, isteri tuanya lalu datang memeranginya. Dari sini, dia menyingkir ke Deli dan mendirikan sebuah dusun. Setelah dua tahun berada di Deli, si Nuan Kata berkelana lagi menuju Sait dan berhasil mendudukinya, nama daerah itu diganti jadi Siak. Dia lalu mengirim sebuah surat dan sebilah pisau kepada Sibayak Siput (Lau Cih), nenek moyang dari Sibayak Pa Pelita Purba dari Kaban Jahe. Kepada J.H. Neumann, Pa Pelita pernah mengatakan bahwa dia masih bersaudara dengan Sultan Siak (Neumann, 1972: 42). 

Salah seorang keturunan Tarigan Gersang bernama Prof. Dr. Hendry Guntur Tarigan, seorang pakar linguistik Indonesia. Semasa hidupnya ia memberikan perhatian lebih terhadap budaya Simalungun, ia lahir di Lingga Julu Kecamatan Simpang Empat, Karo 23 September 1933. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Pajajaran Bandung (1962), kemudian melanjutkan Pasca Sarjana Linguistik di Rijks Universiteit Leiden Nederland (1971-1973) dan meraih gelar doktor di bidang linguistik pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1975) dengan disertasi berjudul "Morfologi Bahasa Simalungun". Jabatan terakhirnya adalah Pembina Utama Muda/Lektor Kepala Golongan IV/C. Ia sering mengikuti berbagai seminar dan lokakarya baik dalam maupun luar negeri dalam bidang kebahasaan, antara lain di Hasseit-Belgia (1972), di Paris-Perancis (1973), di Hamburg-Jerman (1981), dan di Tokyo-Jepang (1983). Jabatan lainnya adalah anggota Tim Evaluator Program Akta Mengajar V (sejak tahun 1981) dan anggota Tim Penilai Karya-Karya Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah yang disponsori oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sejak tahun 1976). Hasil karyanya untuk Simalungun antara lain: 
1. Struktur Sosial & Organisasi Sosial Masyarakat Simalungun. 
2. Morfologi Bahasa Simalungun. 
3. Umpamani Simalungun (Peribahasa Simalungun). 
4. Umpasani Simalungun (Pantun Simalungun).
5. Hutintani Simalungun (Teka-Teki Simalungun). 
6. Perbandingan Kata Tugas Bahasa Simalungun dan Bahasa Indonesia. 
7. Sumbangan Bahasa Simalungun Terhadap Bahasa Indonesia Khusus Dalam Bidang Morfologi: Thesis Diajukan Untuk Memperlengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana. 
8. Morfologi Kata Kerja Dalam bahasa Simalungun. 
9. Pengantar Fonologi Bahasa Simalungun. 
10. Pengantar Morfologi Bahasa Simalungun.
11. Perbandingan Morfologi Bahasa Ogan Dengan Bahasa Simalungun. 
12. Morfologi kata Benda, Kata Keadaan & Kata Bilangan Dalam Bahasa Simalungun. 
13. Perbandingan Morfologi Bahasa Karo dan Bahasa Simalungun. 
14. Perbandingan Umpasa Simalungun Dengan Pantun Melayu. 
15. Sahap Silumat-lumatni Simalungun. 
16. Folklore Simalungun: Cerita Si Jonaha. 
17. Folklore Simalungun: Cerita Tuan Sormaliat. 
18. Cerita Rakyat Simalungun: Cerita Si Marsingkam. 
19. Sitalasari: Bunga Rampai Adat dan Budaya Simalungun. 

Simpulan 
Tarigan merupakan salah satu bagian dari Merga Silima dalam suku Karo, marga ini terbentuk berawal dari seorang marga Purba Simalungun yang hidup pada masa Kerajaan Silou. Keturunannya kemudian membentuk komunitas tersendiri yang terpisah dari marga Purba, namun demikian hubungan antara keduanya tetap terus terjalin dengan baik hingga hari ini. Pada perkembangannya muncul sejumlah cabang yang juga berasal dari peralihan sejumlah cabang marga Purba Simalungun dan keturunan marga Cibero dari Pakpak. Adapun cabang-cabang Tarigan antara lain Tua, Tambak, Silangit, Gerneng, Girsang/Gersang, Sahing, Ijuk, Sibero, Tambun, Tendang/Tondang, Purba Cikala, Pekan, Jampang, Bondong, dan Ganagana. Neumann menjelaskan, cabang Tarigan ini datang dari Simalungun di Dolog Silou dan juga tanah Pakpak (Tungtung Batu dan Lehu), selain itu ada juga yang datang dari Kecamatan Purba dan Silima Huta di Simalungun. Perpindahan mereka ke tanah Karo umumnya terjadi disebabkan oleh perkawinan dan juga memperluas area pertanian serta mencari kehidupan baru, di sisi lain ada juga yang datang karena diundang sebagai tabib dan juga menghalau musuh. Fenomena peralihan marga di kalangan suku Batak sangat umum terjadi dan salah satu yang mendasari lahirnya beragam marga dan juga cabang-cabangnya. Selain kasus Purba Simalungun menjadi Tarigan, para pendatang dari Toba dan Pakpak juga tidak sedikit yang membentuk marga baru di tanah Karo dan meninggalkan induk marganya, seperti marga Sihotang menjadi Karokaro Sitepu. Marga Kudadiri dari Pakpak dan Simbolon dari Samosir menjadi Ginting Suka, marga Solin jadi Peranginangin Pinem dan Sebayang di tanah Karo serta  Selian di Alas. Selain itu marga Karokaro Sinuraya oleh pihak Pakpak diakui berasal dari marga Angkat. Demikianlah dinamika peralihan marga yang terjadi pada suku Batak, kondisi ini terjadi umumnya karena adanya konflik sosial, perpindahan, dan ada juga berasal dari julukan dan pemberian orang lain. 

Daftar Pustaka:
1. Purba Tambak, Angin & Purba Tambak, Jorhalim. 1845. Partingkian Bandar Hanopan. Bandar Hanopan
2. Purba Tambak, TBA. 1967. Sejarah Keturunan Silou. Pematang Siantar: Percetakan HKBP
3. Purba Tambak, TBA & Purba, Jintahalim. 1967. Naskah Silsilah Purba Tambak. Pematang Siantar
4. Purba Tambak, Herman. 2008. Kerajaan Silou (Historiae Politia), Edisi Kedua. Pematang Siantar 
5. Putro, Brahma. 1981. Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yasasan Massa. 
6. Prinst, Darwan dan Darwin. 1984. Sejarah dan Kebudayaan Karo. Bandung: CV. Yrama 
7. Tambun, P. 1952. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka. 
8. Tideman, J. 1922. Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra. Leiden: van Doesburg. 
9. Neumann, J.H. 1972. Sejarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Jakarta: Bhratara.
10. Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak. Medan: C.V. Napitupulu & Sons

Turiturian Parmulani Laut Tadur


Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
(Telah Diterbitkan Di Majalah Sauhur Edisi X Tahun 2008)

Sapari adong ma sada huta na ginoran Tadur, buei do pangisi ni huta on. Na ginomgomni morga Damanik. Anggo pansarianni sidea bagei do, adong na marjuma, maragad, mambayu, anjaha bahat horja na legan songon na somal ihorjahon ompungta sapari. Bahat do halak na sihol marianan ijon. Bani sada panorang misir ma sidea marharoan hu juma, ganup humbani paramangon, parinangon, garama, ampa anak boru, pitah dakdanak do hansa na tading i huta. On ma gatni na ginoran sapari horja sahuta.

Lahouhonsi sidea, puar ma dakdanak nokkan marguroui. Adong ma sahalak na marsahap, “Ai manggual ma gelah hita!, aha be nari gurou-gurouon….???”. Ibalosi hasomanni ma "Anggo sonai etah ma…!”. Igualhon sidea ma tongon gondrang ia, adong koma na marsulim ampa marsarunei. Hape songon na lepak ma tangaron inggouni, “matornoh ho tadur……matornoh ho tadur…!” sonai ma inggouni. Haru ma pangahap ni parhuta simbalog mambogei ai, marsampang ma sidea, “Aih songon na lepak do bogeion inggouni gual on alo…!”. Seng piga dokah matornoh ma tongon huta ai halani lalap do idugut sidea manggual, tarsonggot ma ganup sidea mangidah, roh dokahni lambin roh hu toruhkon ma tanoh na idogei sidea anjanah mangihut ma homa sidea hu toruh. Marbirsaki ma bah ia lanjar lonop ma dakdanak nokkan iinsop bah ai, bungkulanni rumah pe seng taridah bei nai homa pinahan pe mogap ma. Saud ma tongon gabe bah bolag huta ai. Hunjai ma ase igoran huta ai Laut Tadur.

Gambar 1: Laut Tadur tahun 1903-1920

Mulakhonsi odoran hun juma ididah sidea ma dobma luhuk anjaha lonop huta ai, marhata bei ma sidea, “Ai mase boi gabe sonon hutanta on atene…?, dobma gabe bah alo”. “Huja do ale anakhu, rumahku, ampa pinahanhu ai….?” nini sidea ma. Adong ma pigapiga halak na manghatahon, "Mogap i bagas bah in ma gatni sidea ai”. Marsilumpat ma deba hu bagas lahou mangindahi anakni, seng adong bei biarni sidea mangidah bah ai. Hape dashonsi itoruh sahalak pe lang dong na bansah, ganup ma sidea mogap itolon bah ai. Janah na tading i datas sai doruh-doruh, seng ibotoh sidea bei aha nari na lahou sibahenon. “Lang tarurupi sidea be in, domma rongkap ni hutanta ma gatni on….”, nini sidea ma. Ninggan gabe homing do halak na matei ibagas bah ai, ai ma pangisini bah bolag on anjaha iporsayai halak do ronsi sondahan on boi mamberei tuah ampa pamalumhon naborit.

Ronsi sondahan on tingki bulan tula tarbogei do sorani gual hun laut ai. Ijia adong ma sahalak na margoran Tialam, boritan ma niombah ni. Adong ma uhur inanginangni ase ipatambarhon hu datu irik marbulawan ma sidea anggo malum holi sibaenon ma horja i bah bolag ai. On ma bonsir ni Laut Tadur on ijadihon ianan parbulawanon, anggo ijia dayok do na somal gabe parsombahan, tapi nuan boi do hambing, horbou atap lombu.

Bani taun 1955, adong ma tolu halak na marhasoman ai ma Bakhtiar Saragih, Hamid Damanik pakon Alamsyah Purba. Anggo hutani sidea, Bakhtiar par Bajalinggei do, Hamid pakon Alamsyah par Sappang Buahni Sipispis. Ibagas taun ai misir ma sidea hu huta Situnggung dohor Laut Tadur, parlangkahni sidea hujai lahou mamungkah parjumaan do. Alamsyah pakon Hamid dobma ongga hu Situnggung, Bakhtiar do hansa na lape, halak na dua ai do na mangharahkonsi. Bani sada panorang lahou ma sidea marhotang (hotang on lahou mambaen bubu pakon tampirei baen panangkap ihan i Bah Situnggung), marsahap ma sahalak humbani na tolu ai, “Hu Laut Tadur malah hita marhotang tene ase boi mangan ihan holi hita ijai”. Lahou ma tongon sidea hujai pitah indahan pakon lansina tinuktuk do hansa iboan baen bohal.

Dashonsi ijai ipatumpu sidea ma hotang, marsitorih hotangni bei ma sidea. Tongahni ari marsaran ma sidea. Parsaranan ni sidea on seng pala daoh be hun Laut Tadur, martaur ma sahalak humbani sidea, “Sungkup ma gatni hotang on atene, manghail ma lobei hita”. Sanggah na manghail ai dapot si Hamid ma tungkul ni jagul, Alamsyah dapot sipusipu, anjaha Bakhtiar dapot ihan samasam piripiri. Longang bei ma sidea mangidah ai, mardogir ma ambulu tangkuhuk ni sidea, sanggah manghail iahapkon sidea do songon na iharat ihan do ompan ni hape dob ipasintak hape legan do na dapot. Surdung mata ni ari mulak bei ma sidea, sanggah ibagas pardalanan kahou ma sidea, si Hamid do si pamboan dalan na parlobei, dobhonsi ai igantihkon ma use pakon si Alamsah, hape seng homa dapot dalan mulak.

Parpudi igantihkon ma pakon Bakhtiar, ilajou sidea ma use mamontasi dalan, mangindou tuduhtuduh ma ia hubani begu-beguni ompung ni sapari, dobhonsi ai panal ma taridah dalan, seng piga dokah das ma sidea. Dashonsi i Situnggung pajumpah ma sidea pakon ompung Sari Bulan Purba ipatorang ma hubani pasal na masa ai, iturihon ompung ai ma hubani sidea turiturian ni Laut Tadur nokkan.
Laut Tadur on nuan masuk 2 kacamatan ai ma Kecamatan Dolog Batu Nanggar Kabupaten Simalungun pakon Kecamatan Sei Suka Kabupaten Batubara, i topi ni laut on nuan dobma gabe hobun ai ma Hobun Laut Tadur.

Partigatiga Sipunjung dan Anggaranim

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Sekitar abad ke-14 hiduplah tiga orang bersaudara keturunan marga Damanik yaitu Parmata Manunggal, adiknya Partigatiga Sipunjung, dan saudari tiri mereka Anggaranim. Ketiganya bermukim di suatu kampung kecil yang dahulu disebut Siantar Matio (daerah ini diduga dekat Sibisa, Lumban Julu tidak jauh dari Kota Parapat). Di masa mudanya Partigatiga Sipunjung dikenal sebagai seorang pemuda tampan, demikian juga kakak tirinya Anggaranim seorang gadis jelita dan rupawan, kegiatannya sehari-hari hanya bercermin pada mata air. Sementara Parmata Manunggal berbeda dengan keduanya, ia terlahir dalam keadaan cacat, bermata satu, dan bermuncung panjang (Si Sada Mata Si Ganjang Unsum). Namun dengan keadaan seperti itu, justru tidak membuatnya kehilangan kepercayaan diri, ia tetap mampu tampil sebagai seorang abang yang siap mengayomi adik-adiknya. Di mana setelah adiknya, Partigatiga Sihapunjung mendirikan Kerajaan Siantar, ia ditugaskan sebagai penguasa di Sipolha.

Partigatiga Sipunjung merupakan seorang pedagang kerbau yang sering berkelana demi menjual dagangannya, keluar kampung masuk kampung dan keluar hutan masuk hutan. Pada suatu hari sampailah ia di suatu kampung yang bernama Silampuyang (dekat Marihat Kasindir, Tiga Balata sekarang), ia pun menetap di kampung itu. Kehadirannya disambut baik oleh masyarakat setempat, sebagai seorang pengembara ia cukup lihai menyesuaikan diri dengan masyarakat yang ia temui sehingga tidak sedikit orang yang menaruh hati dan bersimpatik padanya. Tuan Silampuyang bermarga Saragih Sidauruk yang merupakan penguasa setempat juga turut terkesima melihatnya hingga ia rela menyerahkan puterinya untuk dijadikan pendamping Partigatiga Sipunjung padahal di kampung asalnya ia sudah memiliki isteri dan beberapa orang anak, salah satu diantaranya bernama Si Ali Urung yang bergelar Ompu Barita yang di kemudian darinya lahir si Bagod Dihitam. Ketika berada di tempat itu, usaha dagang kerbau masih terus ditekuninya hingga mendapat keuntungan besar, sang mertua pun sangat bangga terhadapnya. Mengetahui keadaan adik mereka yang berlimpah dengan harta, abangnya Parmata Manunggal dan kakak tirinya Anggaranim kemudian menyusul adik mereka ke Silampuyang. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Partigatiga Sipunjung tiba-tiba mengalami bangkrut (punjung) besar-besaran sehingga hal itu membuat sang mertua tidak mengaguminya lagi dan meremehkannya.

Tidak tahan mengalami perlakuan demikian, ia kemudian mencoba usaha baru beralih sebagai pedagang ayam, namun usahanya ini ternyata juga mengalami kebangkrutan. Kesedihan dan keresahan pun menyelimutinya hingga beberapa lama dan hal inilah yang menyebabkannya pergi melanglang buana meninggalkan kampung sang mertua. Dengan membawa sepasang ayam Manuk Sihulabu ia pergi menuju ke arah selatan tepatnya di suatu kampung tempat pertemuan aliran sungai Bah Bolon (kampung Tomuan, Pamatang Siantar sekarang). Pada masa itu di sekitar Pamatang Siantar telah terdapat beberapa perkampungan tua seperti Pamatang, Naga Bosi, Silampuyang, dan Dolog Malela.

Syahdan, di kawasan itu telah berdiri suatu kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang bernama Si Tanggang bermarga Sinaga, raja ini terkenal kaya raya dan menguasai wilayah yang sangat luas, dari Pamatang Siantar hingga ke daerah Tanoh Jawa sekarang. Ia termasyhur sebagai raja penakluk yang disegani banyak orang. Namun, ia sangat gemar bermain judi dan menyabung ayam. Dalam setiap permainan, ia selalu menang tak ada yang mampu menandinginya. Kabar itu tercium oleh Partigatiga Sipunjung, namun ia tidak sedikitpun merasa gentar untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah kerajaan tersebut.

Di tempat itu ia lalu membuka areal perladangan luas, berkat ketekunannya mengelola ladangnya lantas menghantarkannya menjadi sosok yang kaya raya dan terkenal serta menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Masyarakatpun berduyun-duyun mendatanginya untuk mengharapkan bagian dari hasil ladangnya, dengan sukarela Partigatiga Sipunjung memberikan hasil panennya namun dengan syarat mereka harus bersedia memanggilnya raja. Demi mendapatkan bagian dari Partigatiga Sipunjung, persyaratan itu pun mereka setujui. Berita ini pun sampai ke telinga Raja Si Tanggang, dengan berang ia lalu mengutus orang agar membawa Partigatiga Sipunjung ke hadapannya. Dengan menggunakan rakit terbuat dari rotan, pesuruh itu berangkat dengan menyeberangi sungai Bah Bolon menemuinya ke kampung Tomuan.




Gambar 1: Rumah Bolon Kerajaan Siantar terbakar tahun 1919 Masehi

Sesampainya di kediaman Partigatiga Sipunjung, pesuruh itu menyampaikan titah raja agar membawanya menghadap raja. Partigatiga Sipunjung dengan suka rela menuruti kemauan sang raja, mereka lalu pergi bersama menuju ke istana Raja Si Tanggang. Sesampainya di istana, dengan disaksikan banyak orang, sang raja lalu bersuara lantang dan bertanya kepada Partigatiga Sipunjung, “Ise do ho ambia?”. Tanpa rasa takut Partigatiga Sipunjung menjawab pertanyaan sang raja dengan mengakui dirinya sebagai raja. “Hunja dalanni ho raja”, tanya Raja Si Tanggang lagi, “Ai na tongondo au raja”, sahut Partigatiga Sipunjung. Berserulah Si Tanggang dengan nada keras penuh kedongkolan, “Anggo sonai bijahonma gan anggo tongon do ho raja i datas tanoh harajaonhu on”. Mendengar permintaan itu ternyata tidak menyurutkan keberanian Partigatiga Sipunjung, dengan penuh percaya diri ia bersumpah, “Raja do au i datas tanoh na huhunduli on janah bah na huinum on”. Keberaniannya bersumpah karena sejak awal ia memang sudah mempersiapkan bekal berupa sekepal tanah dan air yang dibawanya dari Siantar Matio sebagai persiapan bila terjadi sesuatu di perantauan. Mendengar pengakuan Partigatiga Sipunjung, Raja Si Tanggang sangat terkejut, namun dibenaknya berkata: “Na tongon do gakni ambia on raja itanoh on”. Untuk memuaskan rasa penasarannya, ia lalu bertanya kepada khalayak yang hadir di istananya, dengan spontan mereka menyerukan bahwa Partigatiga memang raja mereka.

“Anggo sonai marsabung dayok ma hita, ia anggo anggo talu dayokhu ibahen dayokmu, ho ma tongon raja ijon. Tapi anggo lang ahu do na talup gabe raja”, kata Raja Si Tanggang kepada Partigatiga Sipunjung. Ajakan itu pun diterima Partigatiga Sipunjung dengan senang hati apalagi ia juga terkenal sebagai penyabung ayam yang ulung (karena kebiasaannya itu ia juga dikenal dengan gelar Raja Parmanuk Sihulabu). Adapun syarat pertandingan bila nantinya ayam Raja Si Tanggang kalah ia harus bersedia menyerahkan kerajaan dan seluruh harta bendanya kepada Partigatiga Sipunjung. Demikian pula sebaliknya bila ternyata Partigatiga Sipunjung yang kalah ia pun harus bersedia menyerahkan seluruh harta bendanya sebagai taruhan.

Turnamen adu ayam antara kedua belah pihak pun berlangsung, dengan cekatan Manuk Jagur Sihulabu milik Partigatiga Sipunjung berhasil melumpuhkan ayam Raja Si Tanggang. Kekalahan silih berganti berada di pihak Raja Si Tanggang hingga enam babak enam ekor ayamnya pun tewas. Pada babak ketujuh, Si Tanggang meminta agar panglimanya dipertaruhkan sebagai lawan dari ayam Partigatiga Sipunjung. Permintaan itu disetujuinya, ia lalu menaruh pisau pada taji Manuk Sihulabunya, namun sebelum mulai bertanding sang ayam terlebih dahulu mengibaskan sayapnya pada pasir, tiba-tiba serangan dari lawan menghampiri, dengan sigap sang ayam melompat dan mendarat di atas kepala panglima tersebut. Sang ayam lalu mengibaskan sayap yang mengandung pasir itu, lantas terkena mata si panglima, pada saat itu disebatkanlah tajinya tepat di leher si panglima hingga terputus. Menanglah ayam Partigatiga, namun tidak lama kemudian ia lalu terbang ke langit dan tidak kembali lagi.

Melihat kekalahan itu dengan berat hati dan sesuai dengan kesepakatan, Raja Si Tanggang harus bersedia menyerahkan segala harta kekayaannya termasuk kerajaannya kepada Partigatiga Sipunjung. Tidak sanggup menahan rasa malu, Si Tanggang kemudian memutuskan menyingkir ke Tanah Jawa ke tanah leluhurnya. Sejak saat itu resmilah Partigatiga Sipunjung sebagai raja di wilayah bekas kekuasaan Raja Si Tanggang. Dibuatlah nama baru untuk kerajaan yang berhasil direbutnya itu dengan nama Siantar mengikuti dari nama kampung asalnya Siantar Matio (ada juga keterangan yang menyebutkan kata Siantar berasal dari kata palantar, ruang luas untuk tempat bersidang atau berdiskusi, karena pada zaman dahulu ketika pelantikan Raja-raja Marompat, tempatnya di palantar Rumah Bolon Raja Siantar. Ada lagi yang mengatakan istilah ini diserap dari kata antar, suatu jenis tumbuhan yang kala itu banyak ditemukan di tempat itu).




Gambar 2: Rumah Bolon Kerajaan Siantar tampak dari samping

Mendengar keberhasilan Partigatiga Sipunjung, abangnya Parmata Manunggal dan kakaknya Anggaranim kemudian datang menyusulnya. Ia lalu memberikan titah kepada Parmata Manunggal untuk mendirikan pertuanan di Sipolha, sementara kakaknya, Anggaranim tetap tinggal bersamanya di Siantar. Setelah beberapa tahun menjabat sebagai raja dan usia pun sudah mulai lanjut, Partigatiga Sipunjung kemudian kembali ke kampung halamannnya ke Siantar Matio untuk menemui putranya Ali urung untuk menyerahkan Kerajaan Siantar agar penerus kerajaan itu tidak terputus. Setelah itu dinobatkanlah Ali Urung jadi Raja Siantar, ia menikah dengan seorang putri (panak boru) keturunan Partuanon Gajing. Sementara kakak tirinya, Anggaranim yang berwajah cantik tidak kunjung memperoleh jodoh sebagai pendamping hidup. Anggaranim pun meresahkan kehidupannya, ia lalu pergi ke sebuah mata air (sumbul) yang kini dikenal dengan mata air Tapian Suhi Bah Bosar. 

Anggaranim Menjelma Jadi Ular
Guna menghilangkan rasa gelisah, Anggaranim terus menerus menyendiri di tepi mata air tersebut. Pada suatu kali, sebuah dahan kayu besar dan tajam jatuh dan mengenai hidungnya hingga tergores dan mengeluarkan darah. Karena merasa kecantikannya jadi pudar dan rusak, Anggaranim merasa malu untuk kembali ke rumah. Ia pun berdoa agar hidungnya sembuh dan kembali sempurna seperti sedia kala, namun permintaannya itu tidak kunjung terkabul akibatnya ia terus saja berdiam diri di tepi mata air itu sambil meratapi nasibnya. Melihat kakaknya selama berhari-hari tidak kembali, Partigatiga Sipunjung lalu mengutus pesuruh untuk mencari tahu keberadaan Anggaranim, tidak lama kemudian ia pun ditemukan, ketika mereka melihat keadaan Anggaranim, mereka sangat terkejut dan segera melaporkan hal itu kepada Partigatiga Sipunjung. Mendengar berita itu, ia lalu pergi melihat langsung ke lokasi di mana kakak tirinya itu berdiam diri. Namun ia pasrah dan tidak mampu mengupayakan agar Anggaranim dapat sembuh dari musibah yang dialaminya. Keluarga istana hanya bisa menahan rasa pilu dan mengirimkan bekal makanan untuknya.

Berita ini kemudian meluas ke tengah khalayak, lantas mereka berbondong-bondong pergi ke tempat di mana Anggaranim bersemayam, melihat hal itu ia (Anggaranim) kemudian meminta kepada mereka agar memberikan kain sarung kepadanya yang dinamakan Hiou Sindei (kain ini menyinarkan cahaya berkilauan) agar dijadikan kain penutup tubuhnya. Namun pagi harinya, ketika khalayak ramai itu kembali berkunjung ke tempatnya, mereka sangat terkejut karena melihat tubuh Anggaranim mulai dari ujung kaki sampai pinggulnya telah berubah menjadi seekor ular yang besar, sedang bagian atas tubuhnya masih berwujud manusia. Kabar perubahan Anggaranim menjadi seekor ular besar ini kian meluas ke seluruh penduduk dan kerajaan Simalungun lainnya.


 

Gambar 1: Lokasi tempat pemandian puteri Anggaranim sekaligus bertapa hingga ranting mengenai wajahnya, tim Komunitas Jejak Simalungun pada gambar tampak sedang membersihkan rimbunan ilalang yang menutupi batu di tempat pemandian itu.


Semakin hari semakin banyak orang berdatangan menyaksikan kejadian aneh itu. Penjelmaan tubuh Anggaranim menjadi seekor ular berlangsung terus hingga sampai ke lehernya, hanya sebatas kepala dan rambut panjangnya yang masih berwujud manusia. Melihat peristiwa yang menimpa dirinya, Anggaranim meminta kepada khalayak ramai agar adiknya Partigatiga Sipunjung segera datang menemuinya bersama anak-anak dan cucunya guna menyampaikan kata perpisahan. Permintaan ini lalu mereka sampaikan melalui utusan raja. Partigatiga Sipunjung beserta anak cucunya telah tiba di tempat dengan diiringi suara gendang tarian bertopeng dan tarian lain yang ditampilkan guna menghormati Anggaranim yang telah berubah menjadi ular bersisik yang cantik dan berwarna-warni.

Tarian kematian dan kesedihan terus berlangsung, dengan penuh haru Anggaranim menyaksikan peristiwa yang terjadi di hadapannya, namun tidak setetes pun ia menitikkan air mata. Lagu dan tarian diikuti Anggaranim dengan menghentakkan ekornya ke air sembari mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda gembira dan menyetujui atas tarian dan gendang itu. Sejak berkumandangnya gendang dan tari-tarian mengiringi kepergian Anggaranimini, kemudian dikenal perayaan adat “Horja Turun”. Sebelum meninggalkan tempat itu, Anggaranim terlebih dahulu menengadahkan kepalanya ke atas permukaan air, kepada adiknya Partigatiga Sipunjung ia berpesan "Ada masa datang dan ada masa pergi. Bagiku tibalah saatnya untuk pergi selama-lamanya dan tak akan kembali. Mohon maafkan segala dosaku. Dosamu akan tetap berada dan tinggal di dunia dan sebagai hukuman, kumohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar anak-anak gadismu jangan pernah mengalami kejadian seperti yang kualami. Hendaknya tidak menjadi gadis cantik dan mempesona, karena di balik kecantikan itu akan ada musibah yang menanti". Demikianlah kata-kata terakhir Anggaranim, lantas seluruh tubuhnya menjelma menjadi seekor ular besar hingga ke bagian kepalanya, lalu ia pergi menyusuri sungai itu menuju kampung kristen sekarang ke sebuah sungai yang sekarang disebut Bah Sorma.

Begitu Anggarainim yang menjelma menjadi ular lenyap dari pandangan mereka, tari-tarian dan gendang-gendang kematian masih terus saja berlangsung hingga perlahan berhenti. Khalayak ramai yang menyaksikan kepergiannya kembali ke rumah mereka masing-masing dengan penuh haru dan pilu. Masing-masing mereka saling bertanya mengapa hukuman itu bisa terjadi pada diri Anggaranim. Sejak itu, nama Anggaranim berubah menjadi Nan Sorma atau Puang Sorma sesuai nama sungai Bah Sorma.

Cahaya Aneh
Beberapa waktu kemudian setelah Nan Sorma lenyap ke dasar sungai bah Sorma, cahaya aneh tiba-tiba terpancar dari sebuah bukit di Bah Silulu, kelihatan seperti suatu benda berkilat bak sinar pelangi. Orang kemudian beramai-ramai menuju ke bukit di mana cahaya itu berada dan mereka terkejut melihat banyak ular berkeliaran di bukit itu. Mereka menduga salah satu ular terbesar adalah penjelmaan dari tubuh Anggaranim. Mereka lalu melaporkan peristiwa itu kepada raja Ali Urung, mereka lalu berkumpul di tempat tersebut sambil meletakkan sebuah kotak berisikan sirih. Tak lama kemudian muncullah seekor ular besar wujud dari Anggaranim alias Nan Sorma. Ia lalu membawa sirih itu, kemudian mengunyahnya sementara kotak sirih itu ia kembalikan kepada mereka, ia lalu  menghilang ke semak-semak tanpa bekas. Sejak itu tempat di mana terjadinya peristiwa itu oleh keturunan Raja Siantar dijadikan sebagai tempat keramat yang mereka namakan Sombaon Nan Sorma.


Sumber:
Buku Sidamanik karangan Tuan Amin Damanik dan Jaramen Damanik