Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
(Telah Diterbitkan di Majalah Sauhur Edisi II Tahun 2007)
Pendahuluan
Bicara
mengenai Bahasa Simalungun, maka terlebih dahulu kita mengulas
bagaimana sejarah masuknya nenek moyang penutur bahasa Austronesia
ribuan tahuan lalu ke nusantara khususnya ke Sumatera Utara. Bahasa
Austronesia adalah rumpun bahasa yang terbilang sudah cukup tua dan
sangat luas penyebarannya di dunia, kemunculannya diperkirakan sekitar
6.000-10.000 tahun lalu. Kebanyakan bahasa-bahasa Austronesia tidak
mempunyai sejarah panjang dalam bentuk tertulis, sehingga upaya untuk
merekonstruksi bentuk-bentuk yang lebih awal, yaitu sampai pada
Proto-Austronesia sangat sulit. Prasasti tertua dalam bahasa
Cham, yaitu Prasasti Dong Yen Chau yang diperkirakan dibuat pada abad
ke-4 Masehi, sekaligus merupakan bukti tertulis tertua pula bagi
rumpun bahasa Austronesia. Robert Blust, seorang pakar ilmu linguistik
telah mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa
dari rumpun Austronesia misalnya kosakata proto Bahasa Austronesia yang
berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam. Seorang pakar
linguistik lainnya bernama Spir juga telah menyusun kronologi penyebaran
Bahasa Austronesia dari tahun ke tahun. Ada beragam pendapat mengenai
tanah air Bangsa Austronesia ini, para cendekiawan mencoba menyelidiki
dari dua sisi yaitu melalui bukti arkeologi dan ilmu genetika. Secara
penelaahan genetika memberikan hasil
yang bertentangan, sejumlah peneliti menemukan bukti bahwa tanah air
Bangsa Austronesia Purba berada di benua Asia (Melton dkk, 1998).
Sedangkan para peneliti lainnya merujuk pada kajian linguistik
menyatakan bangsa
Austronesia pada awalnya bermukim di Taiwan, dengan alasan di Taiwan
ditemukan pembagian terdalam bahasa-bahasa Austronesia dari rumpun
bahasa Formosa asli. Bahasa-bahasa Formosa membentuk sembilan dari
sepuluh cabang pada rumpun bahasa Austronesia. Comrie (2001:28)
menemukan hal ini ketika ia menulis:
“...
Bahasa-bahasa Formosa lebih beragam satu dengan yang lainnya
dibandingkan seluruh bahasa-bahasa Austronesia digabung menjadi satu
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi perpecahan genetik dalam
rumpun bahasa Austronesia di antara bahasa-bahasa Taiwan dan sisanya.
Memang genetik bahasa di Taiwan sangatlah beragam sehingga mungkin saja
bahasa-bahasa itu terdiri dari beberapa cabang utama dari rumpun bahasa
Austronesia secara kesuluruhan".
Gambar 1: Peta penyebaran bahasa Austronesia di Taiwan sebelum kehadiran orang-orang Tionghoa.
Setidaknya
sejak Spir (1968), para ahli bahasa telah menerima bahwa kronologi dari
penyebaran sebuah keluarga bahasa dapat ditelusuri dari area dengan
keberagaman bahasa yang besar ke area dengan keberagaman bahasa yang
kecil. Walau beberapa cendekiawan menduga bahwa jumlah dari
cabang-cabang di antara bahasa-bahasa Taiwan mungkin lebih sedikit dari
perkiraan Blust sebesar 9 (seperti Li 2006), hanya ada sedikit
perdebatan di antara para ahli bahasa dengan analisis dari keberagaman
dan kesimpulan yang ditarik tentang asal dan arah dari migrasi rumpun
bahasa Austronesia. Sedangkan hasil penggalian arkeologi menunjukkkan
bahwa bangsa Austronesia sudah bermukim di Taiwan sekitar 8.000 tahun
yang lalu. Dari pulau ini mereka bermigrasi ke Filipina, Indonesia
kemudian Madagaskar dan ke seluruh Samudera Pasifik. Para ahli sejarah
menyarankan migrasi ini bermula sekitar 6.000 tahun yang lalu. Hasil
penelitian mutakhir para ahli semakin memantapkan dugaan adanya dua arus
migrasi besar ke nusantara yang menjadi cikal bakal leluhur langsung
bangsa Indonesia. Pertama, bangsa Austroasia yang tiba pada 4.300-4.100
tahun lalu dan kedua, bangsa Austronesia yang datang pada kisaran 4.000
tahun lalu. Arkeolog prasejarah dari Pusat Arkeologi Nasional, Harry
Truman Simanjuntak, mengatakan, Austroasia dan Austronesia awalnya
berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik. Bahasa
ini berasal dari Yunan, Tiongkok selatan. Bahasa Austrik akhirnya
terpecah menjadi dua, yaitu Austroasia digunakan di sekitar Asia
Tenggara Daratan dan Austronesia yang digunakan di wilayah kepulauan
mulai dari Taiwan, Filipina, Samudera Pasifik, Madagaskar hingga Pulau
Paskah.
Gambar 2-4: Rute penyebaran bangsa dan bahasa Austronesia beserta tahunnya.
Dari
hasil pengkajian bahasa yang dilakukan oleh penulis, dalam bahasa
Simalungun sendiri ditemukan terdapat dua golongan bahasa baik
Austroasia maupun Austronesia. Adapun leluhur langsung yang menurunkan
bangsa dan bahasa Simalungun yang datang dari Taiwan, penulis menduga
yaitu dari suku Amis dan Atayal yang bermigrasi ke Sumatera Utara
sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka masuk melalui pantai timur Sumatera,
awalnya mereka menetap di pesisir mendesak bangsa Austroasia yang lebih
dulu datang pada 300-100 tahun sebelumnya, sebelum kehadiran Bangsa
Austronesia, suku Simalungun pada awalnya menuturkan Bahasa Austroasia.
Namun penulis belum mampu menyebutkan secara spesifik suku apakah dari
golongan Bangsa Austroasia yang datang ke Simalungun, selain datang dari
Taiwan, ada juga penutur Bahasa Austroasia yang datang langsung dari
daratan asia yaitu dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar, hal ini
diketahui dari adanya kemiripan kosa kata antara rumpun bahasa Mon-Khmer
seperti bahasa Mon, Khmer, Thai, Palaung, Shan, dan Khasi dengan bahasa
Simalungun, keempat bahasa ini dituturkan di negara Myanmar, Kamboja,
Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, India, dan Cina. Dari sejumlah daerah
inilah para penutur Bahasa Austroasia berlayar ke nusantara khususnya
Sumatera Utara. Namun pasca masuknya Bangsa Austronesia dari Taiwan
perlahan kedudukan Bahasa Austroasia tergantikan akibat dominasi dari
Bahasa Austronesia.
Gambar 5: Skema pembagian rumpun bahasa Austroasia.
Bahasa Simalungun
Secara
linguistik bahasa Simalungun digolongkan ke dalam salah satu sub bahasa
Batak, Petrus Voorhoeve (1955: 88) memposisikan bahasa Simalungun
berada pada rumpun tengah di antara rumpun selatan (Toba, Mandailing,
Angkola) dan utara (Pakpak, Karo, Alas). Namun menurut Adelaar (1981:
55), bahasa Simalungun sebenarnya adalah salah satu cabang dari rumpun
selatan, yang berpisah dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola
sebelum ketiga bahasa tersebut terbentuk. Dari ungkapan Adelaar ini
menyiratkan bahwa bahasa Simalungun telah berwujud sebelum lahirnya
ketiga bahasa rumpun selatan lainnya yang kemudian berpisah dan
membentuk rumpun tersendiri. Geoff Wollams dalam penelitiannya tentang
bahasa Karo menemukan bahwa dari 207 kosa kata dasar yang ia bandingkan
antara bahasa Karo dan bahasa Simalungun ternyata dalam kedua bahasa tersebut terdapat kesamaan sebesar 80%.
Gambar 6: Skema pembagian bahasa Batak menurut Adelaar (1981: 55)
Bahasa
Simalungun menjadi media tutur bagi masyarakat pribumi yang mendiami
tanah Simalungun meliputi Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar,
Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi, namun pada zaman
dahulu wilayah penyebaran Bahasa Simalungun meluas sampai ke Langkat,
Medan, Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu. Hal ini diketahui dari
banyaknya nama tempat yang menggunakan bahasa Simalungun di sepanjang
pesisir timur mulai dari Langkat hingga Labuhan Batu. Luasnya penyebaran
Bahasa Simalungun tidak terlepas dari perjalanan sejarah suku
Simalungun itu sendiri, di mana mereka telah melalui berbagai fase dalam
menapaki lintasan sejarah. Kebesaran suku Simalungun diawali pada masa
Kerajaan Nagur yang pada masa kejayaannya menguasai sebagian besar
daerah di pesisir Sumatera Timur mulai dari Aceh hingga sungai Rokan.
Namun seiring berjalannya waktu terjadi pasang surut kekuasaan, Kerajaan
Nagur mengalami berbagai rongrongan baik dari dalam maupun dari luar
sehingga perlahan Nagur mengalami kemunduran dan daerah-daerah koloninya
banyak dicaplok oleh sejumlah dinasti baru seperti Haru, Perlak, Pasai,
Aceh, Johor, dan Siak.
Bila
ditinjau dari bentuknya, Bahasa Simalungun telah mengalami beberapa
fase dalam pembentukannya, mulai dari Bahasa Simalungun kuno (Proto
Simalungun), Simalungun pertengahan (Middle Simalungun), dan Simalungun
baru (Neo Simalungun). Bahasa Simalungun masih banyak mewarisi
bentuk-bentuk asli dari Bahasa Austronesia kuno, diantaranya adanya
vokal rangkap (diftong) "ui', ou, dan ei" dan memiliki anak surat
(diakritik) tersendiri dalam bentuk verbal, masing-masing bernama
hatulungan /ou/, hatalingan /ei/, dan hatuluyan /ui/, hal ini akan
penulis jelaskan satu persatu secara rinci. Eksistensi vokal rangkap ini
semakin memperkaya ragam vokal bahasa Simalungun menjadi 8 bentuk yaitu
/a, i, u, e, o, ui, ou, ei/. Pada saat ini terdapat banyak keragaman
dialek dalam Bahasa Simalungun dan pada beberapa lokasi ada
kecenderungan upaya pengaburan bentuk-bentuk asli warisan Bahasa
Austronesia kuno tersebut terutama di kawasan Simalungun Atas dan
Simalungun Horisan. Di samping bahasa Simalungun, fonem /ou/ dan /ei/
ini juga banyak dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo, dan
Alas di Aceh Tenggara serta bahasa Keluet di Aceh Selatan dan fonem /ui/
selain dalam Bahasa Simalungun dikenal juga dalam Bahasa Alas.
Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata “horbou, pisou, magou, kahou, sopou, lahou, lopou, babou, dilou”. Kemudian fonem /ei/ pada kata “lobei, hitei, bogei, dogei, atei, buei”. Sementara fonem /ui/ terdapat pada kata “tondui, langui, apui, sungui, babui, tului, ampodui, surui, haluhui”. Dalam bahasa Alas di Aceh Tenggara, bentuk kata berdiftong tersebut dapat dilihat dari kata-kata berikut “endou, enggou, idou, benei, melohei, awei, kelukui, tendui, apui”. Demikian juga pada bahasa Keluet yang hanya mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, seperti pada kata “kou, kerbou, tangkou, benei, kunei, awei, atei, mbuei”. Sedangkan dalam bahasa Karo diwakili oleh kosa kata berikut “dilau, belau, sapau, rimau, ayau, namau, payau, matai, berai, isai, keina, benai, lumai”.
Namun pola penggunaan diftong ini hanya berlaku di wilayah Karo yang
berbatasan dengan Simalungun dan Melayu, tidak meluas hingga ke wilayah
Karo lainnya seperti pada dialek Gunung dan juga Kabanjahe. Hal ini
terjadi akibat adanya kontak secara berkesinambungan dan berlangsung
lama dengan suku Simalungun di perbatasan dan Melayu di Deli Serdang dan
Langkat.
Bila
dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain seperti bahasa
Toba, Mandailing, Angkola, dan Pakpak; fonem /ou/ ini biasa berbunyi /o/
seperti pada kosa kata berikut “horbo, piso, mago, sopo, laho, babo, tangko, dilo”; /ei/ berbunyi /e/ tampak pada kosa kata “hite, bege, dege, ateate”; sedangkan diftong /ui/ akan berbunyi /i/ seperti kata “tondi, langi, api, babi, suri, halihi”. Selain itu bahasa Simalungun juga mengenal fonem akhir /h/ seperti pada kata “daroh, babah, roh, dilah, soh, gogoh”;
fonem ini tidaklah khusus dalam bahasa Simalungun, karena fonem akhir
ini juga terdapat pada bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan juga Keluet; namun
tidak untuk bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola -- ketiganya sama
sekali tidak mengenal sedikitpun akan penggunaan fonem ini, bagi mereka
kata “babah” akan berbunyi "baba", “roh” akan berbunyi “ro”, “dilah” akan berbunyi “dila”, dan “gogoh” akan berbunyi “gogo”.
Keragaman
fonem lainnya yang tidak ditemukan dalam Bahasa Batak lainnya adalah
/d/, /g/, dan /b/, ketiga fonem ini menjadi penutup dalam sebuah kata.
Ahli bahasa Belanda Dr. Petrus Voorhoeve (1955: 88) pernah mengulas
tentang fonem penutup /d/, /g/, dan /b/ ini, ia merasa terkesima karena
bahasa Simalungun satu-satunya etnis Batak yang mengenal bentuk fonem
seperti ini. Menurut Voorhoeve, fonem ini erat hubungannya dengan bahasa
Sanskerta. Pola penggunaannya tidak mengalami perubahan baik dalam
bentuk lisan (oral) maupun tulisan (verbal). Fonem /d/ tampak pada kata “bod, saud, towod, agad, sogod, bagod, sarad, alud”. Sedang fonem akhir /g/ diwakili oleh kata “dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog, borgog, bolag, bogbog, pag, ulog”. Sementara fonem akhir /b/ muncul pada kata “dob, rongkob, dorab, tayub, langkob, sab”.
Kosa kata yang sama ditemukan juga pada bahasa Pakpak dan Karo, namun
fonem penutup /d/ mengalami perubahan menjadi /n/, dan /g/ menjadi /ng/,
di mana kata “bod” berubah menjadi “bon/ben”, “saud” menjadi “sahun”, “towod” menjadi “tiwen”, “sogod” menjadi “cegen”, “sarad” menjadi “saran”, dan “alud” menjadi “alun”. Kemudian kata “dolog” menjadi “deleng”, “pusog” menjadi “puseng”, “balog” menjadi “baleng”, “lanog” menjadi “laneng”, “borgog” menjadi “bergeng”, “bolag” menjadi “belang”, dan “pag” menjadi “pang”. Sementara untuk fonem /b/ penulis belum dapat menentukan bentuk perubahannya.
Pada
bahasa etnis Batak lainnya seperti Toba, Mandailing, dan Angkola fonem
/d/ akan berbunyi /t/ seperti tampak pada kosa kata berikut bod–bot, saud–saut, tuod–tot, agad–agat, sogod–sogot, bagod–bagot, sarad–sarat, alud–arut; /g/ akan berbunyi /k/ seperti dolog–dolok, balog–balok, lanog–lanok, bolag–bolak, ulog–ulok;
sedang untuk fonem /b/ penulis juga belum dapat menentukan bentuk
perubahannya. Gorys Keraf dalam bukunya Linguistik Bandingan Historis
mengemukakan, bahwa fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang
dianggap bermasalah pada sejumlah bahasa, tidak hanya pada bahasa
nusantara, namun berlaku pula pada bahasa di belahan bumi Eropa. Karena
fonem /d/, /g/, dan /b/ ini secara deskriptif biasanya mengalami proses
netralisasi ketika berada di posisi akhir, dan berganti dengan fonem
/t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem tersebut dapat muncul pada
posisi awal, tengah, dan akhir. Hal itulah yang menjadi masalah, karena
saat ini banyak bahasa yang tidak lagi menampilkan gejala tersebut. Hal
ini mengundang pertanyaan mengapa bahasa Simalungun masih menampilkan
gejala tersebut?
Dalam
bahasa Simalungun ternyata terdapat cukup banyak kosa kata yang bukan
produk hasil kreasi nenek moyang suku Simalungun. Kosa kata itu umumnya
diadopsi dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil. Hal ini tentu
tidak pernah disadari oleh para penutur bahasa Simalungun, mereka
umumnya merasa semua kosa kata yang mereka tuturkan adalah warisan
langsung dari nenek moyang mereka. Adapun kata serapan dari bahasa
Sanskerta, di antaranya digunakan untuk penyebutan nama-nama dewa
seperti “bisnu, sori, hala, borma” yang tidak lain adalah perubahan bentuk dari kata “whisnu, sri, kala, brahma”. Demikian juga untuk menyebut gugusan bintang dengan “mesa, morsoba, mituna, harahata, singa, hania, tula, mortiha, dahanu, mahara, humba, mena” yang bentuk aslinya dalam bahasa Sanskertanya adalah “mesa, vrisabha, mithuna, karkata, singha, kanye, tule, vrstika, dhanu, makara, kumbha, mina”. Kemudian untuk menyebut nama-nama hari seperti “ditia, suma, anggara, mudaha, boraspati, sihora, samisara” dalam bahasa sanskerta berbunyi “aditya, soma, anggara, budha, brihaspati, syukra, syanaiscara”. Selanjutnya untuk menyebut nama-nama mata angin (deisa na waluh) seperti “purba, pastima, otara, daksina, agoni, nariti, manabia, irisanna” yang merupakan perubahan bentuk dari kata “purva, pastjima, uthara, daksina, agni, nairti, wajawia, dan aisana”.
Tidak
hanya itu, untuk kosa kata yang bersifat umum bahasa Sanskerta juga
banyak yang diserap dan mengalami perubahan seperti kata "boniaga" yang berasal dari kata "vanijya", "naibata" dari kata "devata", "purba" dari kata "purva", "porsaya" dari kata "pratyaya", "dousa" dari kata "dosha", "bangsa" dari kata "wamsa", "susian" dari kata "sisya", "horja" dari kata "karya", "arga" dari kata "argha", "halani" dari kata "karana", "rupa" dari kata "rupa", "ugama" dari kata "agama", "nagori" dari kata "nagari", "basa" dari kata "waca", "balei" dari kata "walaya", "banua" dari kata "wanua", "barita" dari kata "wrtta", "nanggurdaha" dari kata "garuda", "gajah" dari kata "gaja", "husapi" dari kata "kacchapi", "huta" dari kata "kuta", dan masih banyak lagi yang lain. Selanjutnya serapan dari bahasa Arab seperti kata "pingkir" yang diserap dari kata "fikr", "adat" dari kata "adat", "dunia" dari kata "dunya", "uhum" dari kata "hukm", "sibolis" dari kata "iblis". Kemudian serapan dari bahasa Persia seperti kata "saluar" yang berasal dari kata "shalwar", "sarunei" yang berasal dari kata "surnai", "pinggan" yang berasal dari kata "pinggan". Dan yang terakhir serapan dari bahasa Tamil seperti kata "bodil" yang diserap dari kata "badil", "sohei" dari kata Tamil "cukkai", "mandihei" dari kata Tamil "komattikai".
Penulis belum dapat menentukan secara definitif bagaimana proses
penyerapan kosa kata ini terjadi, apakah memang langsung diserap dari
bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil atau melalui bahasa lain yang
memang pernah mengadakan kontak langsung dengan keempat bahasa asing
tersebut.
Dialek Bahasa Simalungun
Dalam
perkembangannya bahasa Simalungun banyak mengalami dinamisasi akibat
terjadinya perpindahan dan pengaruh dari penutur bahasa lain. Fenomena
ini akhirnya membentuk pengelompokan dalam penerapan Bahasa Simalungun
yang ditandai dengan kemunculan sejumlah dialek dalam bahasa Simalungun
seperti dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Purba, Sin Panei, dan Sin
Bandar. Namun, Henry Guntur Tarigan membedakan dialek bahasa Simalungun
hanya ke dalam 4 macam dialek, yaitu Silimakuta, Raya, Topi Pasir
(Horisan), dan Jaheijahei (pesisir pantai timur). Dari sekian dialek
tersebut, para peneliti bahasa cenderung memilih dialek Sin Raya yang
dijadikan sebagai tolok ukur (standarisasi) dalam mengkaji Bahasa
Simalungun, dialek ini dituturkan oleh masyarakat Simalungun yang
berdomisili di Kecamatan Raya. Seluruh dialek tersebut di atas pada
awalnya adalah sama, namun karena terjadinya perpindahan dari kediaman
bahasa induknya sehingga perlahan mengalami pergeseran, ditambah
derasnya pengaruh dari penutur bahasa lain di sekitar wilayah Simalungun
juga cukup berperan dalam memudarkan keorisinilan bahasa Simalungun.
Fakta ini dialami langsung oleh orang Simalungun yang bermukim di
sepanjang daerah pesisir danau Toba (Horisan), seperti di Kecamatan
Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pamatang Sidamanik, Dolog Pardameian,
Haranggaol Horisan, dan Purba; akibat kerapnya mengadakan interaksi
dengan penutur bahasa Toba yang datang dari pulau Samosir dan
sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah ini banyak bercampur dengan
bahasa Toba.
Di
Kecamatan Panei dan Panombeian Panei juga demikian, dialek bahasa
Simalungun yang digunakan juga sudah terkontaminasi dengan bahasa Toba.
Berbeda halnya dengan masyarakat Simalungun yang berdiam di Kecamatan
Dolog Silou, Silimakuta, Gunung Mariah, Bangun Purba, Silindak, dan Kota
Rih; akibat kerapnya bersentuhan dengan penutur Bahasa Karo, maka
dinamika penyerapan bahasa antara keduanya pun tidak dapat dielakkan.
Lain lagi dengan masyarakat Simalungun yang berdomisili di daerah
Jahei-jahei seperti di Kecamatan Bandar, Pamatang Bandar, Bandar
Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu
Nanggar, daerah ini dihuni oleh masyarakat Simalungun yang mayoritas
beragama Islam dan sejak ratusan tahun sudah mengadakan kontak dengan
suku Melayu di Batubara dan Asahan, baik dalam kegiatan sosial,
keagamaan, dan juga perdagangan, secara tak sengaja anasir bahasa Melayu
menyerap ke dalam bahasa Simalungun. Kondisi berbeda dialami masyarakat
Simalungun yang menetap di antara komunitas suku Jawa seperti di
Kecamatan Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog,
dan Dolog Batu Nanggar. Sejak masuknya imigran Jawa ke tanah Simalungun
yang dibawa oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan, persentuhan
budaya dan bahasa antara komunitas Jawa dan Simalungun sudah terjadi
secara berkesinambungan. Berakhirnya sistem feodalisme di Simalungun
semakin memberikan peluang seluasnya-luasnya bagi mereka untuk menduduki
berbagai tempat di tanah Simalungun. Peran mereka dalam memudarkan
identitas dan penggunaan Bahasa Simalungun sangat besar dan sulit untuk
dibendung. Nama-nama tempat di Simalungun juga banyak yang berubah
bentuknya akibat mengikuti pola bahasa mereka.
Penutup
Dari uraian ini diperoleh sebuah deskripsi bahwa Bahasa Simalungun memiliki sejumlah keistimewaan baik dalam bentuk maupun posisinya, kendati demikian bahasa Simalungun bukanlah bahasa yang berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dengan Bahasa Batak yang lain. Bahasa Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun Selatan. Dan tidak dapat disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak memiliki kemiripan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet yang berada pada Rumpun Utara. Kondisi ini terjadi dikarenakan posisi Bahasa Simalungun berada pada rumpun tengah, sehingga bahasa Simalungun menjadi perwakilan atau mediasi bagi seluruh Bahasa Batak.
Dari uraian ini diperoleh sebuah deskripsi bahwa Bahasa Simalungun memiliki sejumlah keistimewaan baik dalam bentuk maupun posisinya, kendati demikian bahasa Simalungun bukanlah bahasa yang berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dengan Bahasa Batak yang lain. Bahasa Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun Selatan. Dan tidak dapat disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak memiliki kemiripan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet yang berada pada Rumpun Utara. Kondisi ini terjadi dikarenakan posisi Bahasa Simalungun berada pada rumpun tengah, sehingga bahasa Simalungun menjadi perwakilan atau mediasi bagi seluruh Bahasa Batak.
Daftar Pustaka:
Kozok, Uli. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: Gramedia. 1999
Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, India: The Christian Literature Society. 1978
Voorhoeve, Petrus. Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1955
Adelaar, K.A. Reconstruction of Proto-Batak Phonology. NUSA 10:1-20. 1981
Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. 1984
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996
Kozok, Uli. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: Gramedia. 1999
Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, India: The Christian Literature Society. 1978
Voorhoeve, Petrus. Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1955
Adelaar, K.A. Reconstruction of Proto-Batak Phonology. NUSA 10:1-20. 1981
Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. 1984
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996