My Blog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday, June 1, 2016

Bahasa Simalungun Dalam Tinjauan Linguistik

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

(Telah Diterbitkan di Majalah Sauhur Edisi II Tahun 2007)

Pendahuluan
Bicara mengenai Bahasa Simalungun, maka terlebih dahulu kita mengulas bagaimana sejarah masuknya nenek moyang penutur bahasa Austronesia ribuan tahuan lalu ke nusantara khususnya ke Sumatera Utara. Bahasa Austronesia adalah rumpun bahasa yang terbilang sudah cukup tua dan sangat luas penyebarannya di dunia, kemunculannya diperkirakan sekitar 6.000-10.000 tahun lalu. Kebanyakan bahasa-bahasa Austronesia tidak mempunyai sejarah panjang dalam bentuk tertulis, sehingga upaya untuk merekonstruksi bentuk-bentuk yang lebih awal, yaitu sampai pada Proto-Austronesia sangat sulit. Prasasti tertua dalam bahasa Cham, yaitu Prasasti Dong Yen Chau yang diperkirakan dibuat pada abad ke-4 Masehi, sekaligus merupakan bukti tertulis tertua pula bagi rumpun bahasa Austronesia. Robert Blust, seorang pakar ilmu linguistik telah mencoba merekonstruksi silsilah dan pengelompokan bahasa-bahasa dari rumpun Austronesia misalnya kosakata proto Bahasa Austronesia yang berkaitan dengan flora dan fauna serta gejala alam. Seorang pakar linguistik lainnya bernama Spir juga telah menyusun kronologi penyebaran Bahasa Austronesia dari tahun ke tahun. Ada beragam pendapat mengenai tanah air Bangsa Austronesia ini, para cendekiawan mencoba menyelidiki dari dua sisi yaitu melalui bukti arkeologi dan ilmu genetika. Secara penelaahan genetika memberikan hasil yang bertentangan, sejumlah peneliti menemukan bukti bahwa tanah air Bangsa Austronesia Purba berada di benua Asia (Melton dkk, 1998). Sedangkan para peneliti lainnya merujuk pada kajian linguistik menyatakan bangsa Austronesia pada awalnya bermukim di Taiwan, dengan alasan di Taiwan ditemukan pembagian terdalam bahasa-bahasa Austronesia dari rumpun bahasa Formosa asli. Bahasa-bahasa Formosa membentuk sembilan dari sepuluh cabang pada rumpun bahasa Austronesia. Comrie (2001:28) menemukan hal ini ketika ia menulis:

“... Bahasa-bahasa Formosa lebih beragam satu dengan yang lainnya dibandingkan seluruh bahasa-bahasa Austronesia digabung menjadi satu sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi perpecahan genetik dalam rumpun bahasa Austronesia di antara bahasa-bahasa Taiwan dan sisanya. Memang genetik bahasa di Taiwan sangatlah beragam sehingga mungkin saja bahasa-bahasa itu terdiri dari beberapa cabang utama dari rumpun bahasa Austronesia secara kesuluruhan".
 Gambar 1: Peta penyebaran bahasa Austronesia di Taiwan sebelum kehadiran orang-orang Tionghoa.

Setidaknya sejak Spir (1968), para ahli bahasa telah menerima bahwa kronologi dari penyebaran sebuah keluarga bahasa dapat ditelusuri dari area dengan keberagaman bahasa yang besar ke area dengan keberagaman bahasa yang kecil. Walau beberapa cendekiawan menduga bahwa jumlah dari cabang-cabang di antara bahasa-bahasa Taiwan mungkin lebih sedikit dari perkiraan Blust sebesar 9 (seperti Li 2006), hanya ada sedikit perdebatan di antara para ahli bahasa dengan analisis dari keberagaman dan kesimpulan yang ditarik tentang asal dan arah dari migrasi rumpun bahasa Austronesia. Sedangkan hasil penggalian arkeologi menunjukkkan bahwa bangsa Austronesia sudah bermukim di Taiwan sekitar 8.000 tahun yang lalu. Dari pulau ini mereka bermigrasi ke Filipina, Indonesia kemudian Madagaskar dan ke seluruh Samudera Pasifik. Para ahli sejarah menyarankan migrasi ini bermula sekitar 6.000 tahun yang lalu. Hasil penelitian mutakhir para ahli semakin memantapkan dugaan adanya dua arus migrasi besar ke nusantara yang menjadi cikal bakal leluhur langsung bangsa Indonesia. Pertama, bangsa Austroasia yang tiba pada 4.300-4.100 tahun lalu dan kedua, bangsa Austronesia yang datang pada kisaran 4.000 tahun lalu. Arkeolog prasejarah dari Pusat Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, Austroasia dan Austronesia awalnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa Austrik. Bahasa ini berasal dari Yunan, Tiongkok selatan. Bahasa Austrik akhirnya terpecah menjadi dua, yaitu Austroasia digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan dan Austronesia yang digunakan di wilayah kepulauan mulai dari Taiwan, Filipina, Samudera Pasifik, Madagaskar hingga Pulau Paskah.

Gambar 2-4: Rute penyebaran bangsa dan bahasa Austronesia beserta tahunnya.

Dari hasil pengkajian bahasa yang dilakukan oleh penulis, dalam bahasa Simalungun sendiri ditemukan terdapat dua golongan bahasa baik Austroasia maupun Austronesia.  Adapun leluhur langsung yang menurunkan bangsa dan bahasa Simalungun yang datang dari Taiwan, penulis menduga yaitu dari suku Amis dan Atayal yang bermigrasi ke Sumatera Utara sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka masuk melalui pantai timur Sumatera, awalnya mereka menetap di pesisir mendesak bangsa Austroasia yang lebih dulu datang pada 300-100 tahun sebelumnya, sebelum kehadiran Bangsa Austronesia, suku Simalungun pada awalnya menuturkan Bahasa Austroasia. Namun penulis belum mampu menyebutkan secara spesifik suku apakah dari golongan Bangsa Austroasia yang datang ke Simalungun, selain datang dari Taiwan, ada juga penutur Bahasa Austroasia yang datang langsung dari daratan asia yaitu dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar, hal ini diketahui dari adanya kemiripan kosa kata antara rumpun bahasa Mon-Khmer seperti bahasa Mon, Khmer, Thai, Palaung, Shan, dan Khasi dengan bahasa Simalungun, keempat bahasa ini dituturkan di negara Myanmar, Kamboja, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, India, dan Cina. Dari sejumlah daerah inilah para penutur Bahasa Austroasia berlayar ke nusantara khususnya Sumatera Utara. Namun pasca masuknya Bangsa Austronesia dari Taiwan perlahan kedudukan Bahasa Austroasia tergantikan akibat dominasi dari Bahasa Austronesia.
Gambar 5: Skema pembagian rumpun bahasa Austroasia.

Bahasa Simalungun
Secara linguistik bahasa Simalungun digolongkan ke dalam salah satu sub bahasa Batak, Petrus Voorhoeve (1955: 88) memposisikan bahasa Simalungun berada pada rumpun tengah di antara rumpun selatan (Toba, Mandailing, Angkola) dan utara (Pakpak, Karo, Alas). Namun menurut Adelaar (1981: 55), bahasa Simalungun sebenarnya adalah salah satu cabang dari rumpun selatan, yang berpisah dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebelum ketiga bahasa tersebut terbentuk. Dari ungkapan Adelaar ini menyiratkan bahwa bahasa Simalungun telah berwujud sebelum lahirnya ketiga bahasa rumpun selatan lainnya yang kemudian berpisah dan membentuk rumpun tersendiri. Geoff Wollams dalam penelitiannya tentang bahasa Karo menemukan bahwa dari 207 kosa kata dasar yang ia bandingkan antara bahasa Karo dan bahasa Simalungun ternyata dalam kedua bahasa tersebut terdapat kesamaan sebesar 80%.

Gambar 6: Skema pembagian bahasa Batak menurut Adelaar (1981: 55)

Bahasa Simalungun menjadi media tutur bagi masyarakat pribumi yang mendiami tanah Simalungun meliputi Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi, namun pada zaman dahulu wilayah penyebaran Bahasa Simalungun meluas sampai ke Langkat, Medan, Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu. Hal ini diketahui dari banyaknya nama tempat yang menggunakan bahasa Simalungun di sepanjang pesisir timur mulai dari Langkat hingga Labuhan Batu. Luasnya penyebaran Bahasa Simalungun tidak terlepas dari perjalanan sejarah suku Simalungun itu sendiri, di mana mereka telah melalui berbagai fase dalam menapaki lintasan sejarah. Kebesaran suku Simalungun diawali pada masa Kerajaan Nagur yang pada masa kejayaannya menguasai sebagian besar daerah di pesisir Sumatera Timur mulai dari Aceh hingga sungai Rokan. Namun seiring berjalannya waktu terjadi pasang surut kekuasaan, Kerajaan Nagur mengalami berbagai rongrongan baik dari dalam maupun dari luar sehingga perlahan Nagur mengalami kemunduran dan daerah-daerah koloninya banyak dicaplok oleh sejumlah dinasti baru seperti Haru, Perlak, Pasai, Aceh, Johor, dan Siak.

Bila ditinjau dari bentuknya, Bahasa Simalungun telah mengalami beberapa fase dalam pembentukannya, mulai dari Bahasa Simalungun kuno (Proto Simalungun), Simalungun pertengahan (Middle Simalungun), dan Simalungun baru (Neo Simalungun). Bahasa Simalungun masih banyak mewarisi bentuk-bentuk asli dari Bahasa Austronesia kuno, diantaranya adanya vokal rangkap (diftong) "ui', ou, dan ei" dan memiliki anak surat (diakritik) tersendiri dalam bentuk verbal, masing-masing bernama hatulungan /ou/, hatalingan /ei/, dan hatuluyan /ui/, hal ini akan penulis jelaskan satu persatu secara rinci. Eksistensi vokal rangkap ini semakin memperkaya ragam vokal bahasa Simalungun menjadi 8 bentuk yaitu /a, i, u, e, o, ui, ou, ei/. Pada saat ini terdapat banyak keragaman dialek dalam Bahasa Simalungun dan pada beberapa lokasi ada kecenderungan upaya pengaburan bentuk-bentuk asli warisan Bahasa Austronesia kuno tersebut terutama di kawasan Simalungun Atas dan Simalungun Horisan. Di samping bahasa Simalungun, fonem /ou/ dan /ei/ ini juga banyak dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo, dan Alas di Aceh Tenggara serta bahasa Keluet di Aceh Selatan dan fonem /ui/ selain dalam Bahasa Simalungun dikenal juga dalam Bahasa Alas.

Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata “horbou, pisou, magou, kahou, sopou, lahou, lopou, babou, dilou”. Kemudian fonem /ei/ pada kata “lobei, hitei, bogei, dogei, atei, buei”. Sementara fonem /ui/ terdapat pada kata “tondui, langui, apui, sungui, babui, tului, ampodui, surui, haluhui”. Dalam bahasa Alas di Aceh Tenggara,  bentuk kata berdiftong tersebut dapat dilihat dari kata-kata berikut “endou, enggou, idou, benei, melohei, awei, kelukui, tendui, apui”. Demikian juga pada bahasa Keluet yang hanya mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, seperti pada kata “kou, kerbou, tangkou, benei, kunei, awei, atei, mbuei”. Sedangkan dalam bahasa Karo diwakili oleh kosa kata berikut “dilau, belau, sapau, rimau, ayau, namau, payau, matai, berai, isai, keina, benai, lumai”. Namun pola penggunaan diftong ini hanya berlaku di wilayah Karo yang berbatasan dengan Simalungun dan Melayu, tidak meluas hingga ke wilayah Karo lainnya seperti pada dialek Gunung dan juga Kabanjahe. Hal ini terjadi akibat adanya kontak secara berkesinambungan dan berlangsung lama dengan suku Simalungun di perbatasan dan Melayu di Deli Serdang dan Langkat.

Bila dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain seperti bahasa Toba, Mandailing, Angkola, dan Pakpak; fonem /ou/ ini biasa berbunyi /o/ seperti pada kosa kata berikut “horbo, piso,  mago, sopo, laho, babo, tangko, dilo”; /ei/ berbunyi /e/ tampak pada kosa kata “hite, bege, dege, ateate”; sedangkan diftong /ui/ akan berbunyi /i/ seperti kata “tondi, langi, api, babi, suri, halihi”. Selain itu bahasa Simalungun juga mengenal fonem akhir /h/ seperti pada kata “daroh, babah, roh, dilah, soh, gogoh”; fonem ini tidaklah khusus dalam bahasa Simalungun, karena fonem akhir ini juga terdapat pada bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan juga Keluet; namun tidak untuk bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola -- ketiganya sama sekali tidak mengenal sedikitpun akan penggunaan fonem ini, bagi mereka kata “babah” akan berbunyi "baba", “roh” akan berbunyi “ro”, “dilah” akan berbunyi “dila”, dan “gogoh” akan berbunyi “gogo”.

Keragaman fonem lainnya yang tidak ditemukan dalam Bahasa Batak lainnya adalah /d/, /g/, dan /b/, ketiga fonem ini menjadi penutup dalam sebuah kata. Ahli bahasa Belanda Dr. Petrus Voorhoeve (1955: 88) pernah mengulas tentang fonem penutup /d/, /g/, dan /b/ ini, ia merasa terkesima karena bahasa Simalungun satu-satunya etnis Batak yang mengenal bentuk fonem seperti ini. Menurut Voorhoeve, fonem ini erat hubungannya dengan bahasa Sanskerta. Pola penggunaannya tidak mengalami perubahan baik dalam bentuk lisan (oral) maupun tulisan (verbal). Fonem /d/ tampak pada kata “bod, saud, towod, agad, sogod, bagod, sarad, alud”. Sedang fonem akhir /g/ diwakili oleh kata “dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog, borgog, bolag, bogbog, pag, ulog”. Sementara fonem akhir /b/ muncul pada kata “dob, rongkob, dorab, tayub, langkob, sab”. Kosa kata yang sama ditemukan juga pada bahasa Pakpak dan Karo, namun fonem penutup /d/ mengalami perubahan menjadi /n/, dan /g/ menjadi /ng/, di mana kata “bod” berubah menjadi “bon/ben”, “saud” menjadi “sahun”, “towod” menjadi  “tiwen”, “sogod” menjadi “cegen”, “sarad” menjadi “saran”, dan “alud” menjadi “alun”. Kemudian kata “dolog” menjadi “deleng”, “pusog” menjadi “puseng”, “balog” menjadi “baleng”, “lanog” menjadi “laneng”, “borgog” menjadi “bergeng”, “bolag” menjadi “belang”, dan “pag” menjadi “pang”. Sementara untuk fonem /b/ penulis belum dapat menentukan bentuk perubahannya.

Pada bahasa etnis Batak lainnya seperti Toba, Mandailing, dan Angkola fonem /d/ akan berbunyi /t/ seperti tampak pada kosa kata berikut bod–bot, saud–saut, tuod–tot, agad–agat, sogod–sogot, bagod–bagot, sarad–sarat, alud–arut; /g/ akan berbunyi /k/ seperti dolog–dolok, balog–balok, lanog–lanok, bolag–bolak, ulog–ulok; sedang untuk fonem /b/ penulis juga belum dapat menentukan bentuk perubahannya. Gorys Keraf dalam bukunya Linguistik Bandingan Historis mengemukakan, bahwa fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang dianggap bermasalah pada sejumlah bahasa, tidak hanya pada bahasa nusantara, namun berlaku pula pada bahasa di belahan bumi Eropa. Karena fonem /d/, /g/, dan /b/ ini secara deskriptif biasanya mengalami proses netralisasi ketika berada di posisi akhir, dan berganti dengan fonem /t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem tersebut dapat muncul pada posisi awal, tengah, dan akhir. Hal itulah yang menjadi masalah, karena saat ini banyak bahasa yang tidak lagi menampilkan gejala tersebut. Hal ini mengundang pertanyaan mengapa bahasa Simalungun masih menampilkan gejala tersebut?

Dalam bahasa Simalungun ternyata terdapat cukup banyak kosa kata yang bukan produk hasil kreasi nenek moyang suku Simalungun. Kosa kata itu umumnya diadopsi dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil. Hal ini tentu tidak pernah disadari oleh para penutur bahasa Simalungun, mereka umumnya merasa semua kosa kata yang mereka tuturkan adalah warisan langsung dari nenek moyang mereka. Adapun kata serapan dari bahasa Sanskerta, di antaranya digunakan untuk penyebutan nama-nama dewa seperti “bisnu, sori, hala, borma” yang tidak lain adalah perubahan bentuk dari kata “whisnu, sri, kala, brahma”. Demikian juga untuk menyebut gugusan bintang dengan “mesa, morsoba, mituna, harahata, singa, hania, tula, mortiha, dahanu, mahara, humba, mena” yang bentuk aslinya dalam bahasa Sanskertanya adalah “mesa, vrisabha, mithuna, karkata, singha, kanye, tule, vrstika, dhanu, makara, kumbha, mina”. Kemudian untuk menyebut nama-nama hari seperti “ditia, suma, anggara, mudaha, boraspati, sihora, samisara” dalam bahasa sanskerta berbunyi “aditya, soma, anggara, budha, brihaspati, syukra, syanaiscara”. Selanjutnya untuk menyebut nama-nama mata angin (deisa na waluh) seperti “purba, pastima, otara, daksina, agoni, nariti, manabia, irisanna” yang merupakan perubahan bentuk dari kata “purva, pastjima, uthara, daksina, agni, nairti, wajawia, dan aisana”.

Tidak hanya itu, untuk kosa kata yang bersifat umum bahasa Sanskerta juga banyak yang diserap dan mengalami perubahan seperti kata "boniaga" yang berasal dari kata "vanijya", "naibata" dari kata "devata", "purba" dari kata "purva", "porsaya" dari kata "pratyaya", "dousa" dari kata "dosha", "bangsa" dari kata "wamsa", "susian" dari kata "sisya", "horja" dari kata "karya", "arga" dari kata "argha", "halani" dari kata "karana", "rupa" dari kata "rupa", "ugama" dari kata "agama", "nagori" dari kata "nagari", "basa" dari kata "waca", "balei" dari kata "walaya", "banua" dari kata "wanua", "barita" dari kata "wrtta", "nanggurdaha" dari kata "garuda", "gajah" dari kata "gaja", "husapi" dari kata "kacchapi", "huta" dari kata "kuta", dan masih banyak lagi yang lain. Selanjutnya serapan dari bahasa Arab seperti kata "pingkir" yang diserap dari kata "fikr", "adat" dari kata "adat", "dunia" dari kata "dunya", "uhum" dari kata "hukm", "sibolis" dari kata "iblis". Kemudian serapan dari bahasa Persia seperti kata "saluar" yang berasal dari kata "shalwar", "sarunei" yang berasal dari kata "surnai", "pinggan" yang berasal dari kata "pinggan". Dan yang terakhir serapan dari bahasa Tamil seperti kata "bodil" yang diserap dari kata "badil", "sohei" dari kata Tamil "cukkai", "mandihei" dari kata Tamil "komattikai". Penulis belum dapat menentukan secara definitif bagaimana proses penyerapan kosa kata ini terjadi, apakah memang langsung diserap dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil atau melalui bahasa lain yang memang pernah mengadakan kontak langsung dengan keempat bahasa asing tersebut.

Dialek Bahasa Simalungun
Dalam perkembangannya bahasa Simalungun banyak mengalami dinamisasi akibat terjadinya perpindahan dan pengaruh dari penutur bahasa lain. Fenomena ini akhirnya membentuk pengelompokan dalam penerapan Bahasa Simalungun yang ditandai dengan kemunculan sejumlah dialek dalam bahasa Simalungun seperti dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Purba, Sin Panei, dan Sin Bandar. Namun, Henry Guntur Tarigan membedakan dialek bahasa Simalungun hanya ke dalam 4 macam dialek, yaitu Silimakuta, Raya, Topi Pasir (Horisan), dan Jaheijahei (pesisir pantai timur). Dari sekian dialek tersebut, para peneliti bahasa cenderung memilih dialek Sin Raya yang dijadikan sebagai tolok ukur (standarisasi) dalam mengkaji Bahasa Simalungun, dialek ini dituturkan oleh masyarakat Simalungun yang berdomisili di Kecamatan Raya. Seluruh dialek tersebut di atas pada awalnya adalah sama, namun karena terjadinya perpindahan dari kediaman bahasa induknya sehingga perlahan mengalami pergeseran, ditambah derasnya pengaruh dari penutur bahasa lain di sekitar wilayah Simalungun juga cukup berperan dalam memudarkan keorisinilan bahasa Simalungun. Fakta ini dialami langsung oleh orang Simalungun yang bermukim di sepanjang daerah pesisir danau Toba (Horisan), seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Sidamanik, Pamatang Sidamanik, Dolog Pardameian, Haranggaol Horisan, dan Purba; akibat kerapnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba yang datang dari pulau Samosir dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah ini banyak bercampur dengan bahasa Toba.

Di Kecamatan Panei dan Panombeian Panei juga demikian, dialek bahasa Simalungun yang digunakan juga sudah terkontaminasi dengan bahasa Toba. Berbeda halnya dengan masyarakat Simalungun yang berdiam di Kecamatan Dolog Silou, Silimakuta, Gunung Mariah, Bangun Purba, Silindak, dan Kota Rih; akibat kerapnya bersentuhan dengan penutur Bahasa Karo, maka dinamika penyerapan bahasa antara keduanya pun tidak dapat dielakkan. Lain lagi dengan masyarakat Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei seperti di Kecamatan Bandar, Pamatang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar, daerah ini dihuni oleh masyarakat Simalungun yang mayoritas beragama Islam dan sejak ratusan tahun sudah mengadakan kontak dengan suku Melayu di Batubara dan Asahan, baik dalam kegiatan sosial, keagamaan, dan juga perdagangan, secara tak sengaja anasir bahasa Melayu menyerap ke dalam bahasa Simalungun. Kondisi berbeda dialami masyarakat Simalungun yang menetap di antara komunitas suku Jawa seperti di Kecamatan Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung Maligas, Tapian Dolog, dan Dolog Batu Nanggar. Sejak masuknya imigran Jawa ke tanah Simalungun yang dibawa oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan, persentuhan budaya dan bahasa antara komunitas Jawa dan Simalungun sudah terjadi secara berkesinambungan. Berakhirnya sistem feodalisme di Simalungun semakin memberikan peluang seluasnya-luasnya bagi mereka untuk menduduki berbagai tempat di tanah Simalungun. Peran mereka dalam memudarkan identitas dan penggunaan Bahasa Simalungun sangat besar dan sulit untuk dibendung. Nama-nama tempat di Simalungun juga banyak yang berubah bentuknya akibat mengikuti pola bahasa mereka.

Penutup
Dari uraian ini diperoleh sebuah deskripsi bahwa Bahasa Simalungun memiliki sejumlah keistimewaan baik dalam bentuk maupun posisinya, kendati demikian bahasa Simalungun bukanlah bahasa yang berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dengan Bahasa Batak yang lain. Bahasa Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun Selatan. Dan tidak dapat disangkal pula bila bahasa Simalungun banyak memiliki kemiripan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas, dan Keluet yang berada pada Rumpun Utara. Kondisi ini terjadi dikarenakan posisi Bahasa Simalungun berada pada rumpun tengah, sehingga bahasa Simalungun menjadi perwakilan atau mediasi bagi seluruh Bahasa Batak.

Daftar Pustaka:
Kozok, Uli. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: Gramedia. 1999
Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, India:  The Christian Literature Society. 1978
Voorhoeve, Petrus. Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1955
Adelaar, K.A. Reconstruction of Proto-Batak Phonology. NUSA 10:1-20. 1981
Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. 1984
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996