Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Sekitar
abad ke-14 hiduplah tiga orang bersaudara keturunan marga Damanik yaitu
Parmata Manunggal, adiknya Partigatiga Sipunjung, dan saudari tiri
mereka Anggaranim. Ketiganya bermukim di suatu kampung kecil yang dahulu
disebut Siantar Matio (daerah ini diduga dekat Sibisa, Lumban Julu
tidak jauh dari Kota Parapat). Di masa mudanya Partigatiga Sipunjung
dikenal sebagai seorang pemuda tampan, demikian juga kakak tirinya
Anggaranim seorang gadis jelita dan rupawan, kegiatannya sehari-hari
hanya bercermin pada mata air. Sementara Parmata Manunggal berbeda
dengan keduanya, ia terlahir dalam keadaan cacat, bermata satu, dan
bermuncung panjang (Si Sada Mata Si Ganjang Unsum). Namun dengan
keadaan seperti itu, justru tidak membuatnya kehilangan kepercayaan
diri, ia tetap mampu tampil sebagai seorang abang yang siap mengayomi
adik-adiknya. Di mana setelah adiknya, Partigatiga Sihapunjung
mendirikan Kerajaan Siantar, ia ditugaskan sebagai penguasa di Sipolha.
Partigatiga
Sipunjung merupakan seorang pedagang kerbau yang sering berkelana demi
menjual dagangannya, keluar kampung masuk kampung dan keluar hutan masuk
hutan. Pada suatu hari sampailah ia di suatu kampung yang bernama
Silampuyang (dekat Marihat Kasindir, Tiga Balata sekarang), ia pun
menetap di kampung itu. Kehadirannya disambut baik oleh masyarakat
setempat, sebagai seorang pengembara ia cukup lihai menyesuaikan diri
dengan masyarakat yang ia temui sehingga tidak sedikit orang yang
menaruh hati dan bersimpatik padanya. Tuan Silampuyang bermarga Saragih
Sidauruk yang merupakan penguasa setempat juga turut terkesima
melihatnya hingga ia rela menyerahkan puterinya untuk dijadikan
pendamping Partigatiga Sipunjung padahal di kampung asalnya ia sudah
memiliki isteri dan beberapa orang anak, salah satu diantaranya bernama
Si Ali Urung yang bergelar Ompu Barita yang di kemudian darinya lahir si
Bagod Dihitam. Ketika berada di tempat itu, usaha dagang kerbau masih
terus ditekuninya hingga mendapat keuntungan besar, sang mertua pun
sangat bangga terhadapnya. Mengetahui keadaan adik mereka yang berlimpah
dengan harta, abangnya Parmata Manunggal dan kakak tirinya Anggaranim
kemudian menyusul adik mereka ke Silampuyang. Namun kebahagiaan itu
tidak berlangsung lama, Partigatiga Sipunjung tiba-tiba mengalami
bangkrut (punjung) besar-besaran sehingga hal itu membuat sang mertua
tidak mengaguminya lagi dan meremehkannya.
Tidak
tahan mengalami perlakuan demikian, ia kemudian mencoba usaha baru
beralih sebagai pedagang ayam, namun usahanya ini ternyata juga
mengalami kebangkrutan. Kesedihan dan keresahan pun menyelimutinya
hingga beberapa lama dan hal inilah yang menyebabkannya pergi melanglang
buana meninggalkan kampung sang mertua. Dengan membawa sepasang ayam
Manuk Sihulabu ia pergi menuju ke arah selatan tepatnya di suatu kampung
tempat pertemuan aliran sungai Bah Bolon (kampung Tomuan, Pamatang
Siantar sekarang). Pada masa itu di sekitar Pamatang Siantar telah
terdapat beberapa perkampungan tua seperti Pamatang, Naga Bosi,
Silampuyang, dan Dolog Malela.
Syahdan,
di kawasan itu telah berdiri suatu kerajaan yang diperintah oleh
seorang raja yang bernama Si Tanggang bermarga Sinaga, raja ini terkenal
kaya raya dan menguasai wilayah yang sangat luas, dari Pamatang Siantar
hingga ke daerah Tanoh Jawa sekarang. Ia termasyhur sebagai raja
penakluk yang disegani banyak orang. Namun, ia sangat gemar bermain judi
dan menyabung ayam. Dalam setiap permainan, ia selalu menang tak ada
yang mampu menandinginya. Kabar itu tercium oleh Partigatiga Sipunjung,
namun ia tidak sedikitpun merasa gentar untuk melanjutkan perjalanan ke
wilayah kerajaan tersebut.
Di
tempat itu ia lalu membuka areal perladangan luas, berkat ketekunannya
mengelola ladangnya lantas menghantarkannya menjadi sosok yang kaya raya
dan terkenal serta menjadi bahan pembicaraan banyak orang.
Masyarakatpun berduyun-duyun mendatanginya untuk mengharapkan bagian
dari hasil ladangnya, dengan sukarela Partigatiga Sipunjung memberikan
hasil panennya namun dengan syarat mereka harus bersedia memanggilnya
raja. Demi mendapatkan bagian dari Partigatiga Sipunjung, persyaratan
itu pun mereka setujui. Berita ini pun sampai ke telinga Raja Si
Tanggang, dengan berang ia lalu mengutus orang agar membawa Partigatiga
Sipunjung ke hadapannya. Dengan menggunakan rakit terbuat dari rotan,
pesuruh itu berangkat dengan menyeberangi sungai Bah Bolon menemuinya ke
kampung Tomuan.
Sesampainya
di kediaman Partigatiga Sipunjung, pesuruh itu menyampaikan titah raja
agar membawanya menghadap raja. Partigatiga Sipunjung dengan suka rela
menuruti kemauan sang raja, mereka lalu pergi bersama menuju ke istana
Raja Si Tanggang. Sesampainya di istana, dengan disaksikan banyak orang,
sang raja lalu bersuara lantang dan bertanya kepada Partigatiga
Sipunjung, “Ise do ho ambia?”. Tanpa rasa takut Partigatiga Sipunjung menjawab pertanyaan sang raja dengan mengakui dirinya sebagai raja. “Hunja dalanni ho raja”, tanya Raja Si Tanggang lagi, “Ai na tongondo au raja”, sahut Partigatiga Sipunjung. Berserulah Si Tanggang dengan nada keras penuh kedongkolan, “Anggo sonai bijahonma gan anggo tongon do ho raja i datas tanoh harajaonhu on”. Mendengar permintaan itu ternyata tidak menyurutkan keberanian Partigatiga Sipunjung, dengan penuh percaya diri ia bersumpah, “Raja do au i datas tanoh na huhunduli on janah bah na huinum on”.
Keberaniannya bersumpah karena sejak awal ia memang sudah mempersiapkan
bekal berupa sekepal tanah dan air yang dibawanya dari Siantar Matio
sebagai persiapan bila terjadi sesuatu di perantauan. Mendengar
pengakuan Partigatiga Sipunjung, Raja Si Tanggang sangat terkejut, namun
dibenaknya berkata: “Na tongon do gakni ambia on raja itanoh on”.
Untuk memuaskan rasa penasarannya, ia lalu bertanya kepada khalayak
yang hadir di istananya, dengan spontan mereka menyerukan bahwa
Partigatiga memang raja mereka.
“Anggo
sonai marsabung dayok ma hita, ia anggo anggo talu dayokhu ibahen
dayokmu, ho ma tongon raja ijon. Tapi anggo lang ahu do na talup gabe
raja”, kata Raja Si Tanggang kepada Partigatiga Sipunjung. Ajakan
itu pun diterima Partigatiga Sipunjung dengan senang hati apalagi ia
juga terkenal sebagai penyabung ayam yang ulung (karena kebiasaannya itu
ia juga dikenal dengan gelar Raja Parmanuk Sihulabu). Adapun syarat
pertandingan bila nantinya ayam Raja Si Tanggang kalah ia harus bersedia
menyerahkan kerajaan dan seluruh harta bendanya kepada Partigatiga
Sipunjung. Demikian pula sebaliknya bila ternyata Partigatiga Sipunjung
yang kalah ia pun harus bersedia menyerahkan seluruh harta bendanya
sebagai taruhan.
Turnamen
adu ayam antara kedua belah pihak pun berlangsung, dengan cekatan Manuk
Jagur Sihulabu milik Partigatiga Sipunjung berhasil melumpuhkan ayam
Raja Si Tanggang. Kekalahan silih berganti berada di pihak Raja Si
Tanggang hingga enam babak enam ekor ayamnya pun tewas. Pada babak
ketujuh, Si Tanggang meminta agar panglimanya dipertaruhkan sebagai
lawan dari ayam Partigatiga Sipunjung. Permintaan itu disetujuinya, ia
lalu menaruh pisau pada taji Manuk Sihulabunya, namun sebelum mulai
bertanding sang ayam terlebih dahulu mengibaskan sayapnya pada pasir,
tiba-tiba serangan dari lawan menghampiri, dengan sigap sang ayam
melompat dan mendarat di atas kepala panglima tersebut. Sang ayam lalu
mengibaskan sayap yang mengandung pasir itu, lantas terkena mata si
panglima, pada saat itu disebatkanlah tajinya tepat di leher si panglima
hingga terputus. Menanglah ayam Partigatiga, namun tidak lama kemudian
ia lalu terbang ke langit dan tidak kembali lagi.
Melihat
kekalahan itu dengan berat hati dan sesuai dengan kesepakatan, Raja Si
Tanggang harus bersedia menyerahkan segala harta kekayaannya termasuk
kerajaannya kepada Partigatiga Sipunjung. Tidak sanggup menahan rasa
malu, Si Tanggang kemudian memutuskan menyingkir ke Tanah Jawa ke tanah
leluhurnya. Sejak saat itu resmilah Partigatiga Sipunjung sebagai raja
di wilayah bekas kekuasaan Raja Si Tanggang. Dibuatlah nama baru untuk
kerajaan yang berhasil direbutnya itu dengan nama Siantar mengikuti dari
nama kampung asalnya Siantar Matio (ada juga keterangan yang
menyebutkan kata Siantar berasal dari kata palantar, ruang luas untuk
tempat bersidang atau berdiskusi, karena pada zaman dahulu ketika
pelantikan Raja-raja Marompat, tempatnya di palantar Rumah Bolon Raja
Siantar. Ada lagi yang mengatakan istilah ini diserap dari kata antar,
suatu jenis tumbuhan yang kala itu banyak ditemukan di tempat itu).
Gambar 2: Rumah Bolon Kerajaan Siantar tampak dari samping
Mendengar
keberhasilan Partigatiga Sipunjung, abangnya Parmata Manunggal dan
kakaknya Anggaranim kemudian datang menyusulnya. Ia lalu memberikan
titah kepada Parmata Manunggal untuk mendirikan pertuanan di Sipolha,
sementara kakaknya, Anggaranim tetap tinggal bersamanya di Siantar.
Setelah beberapa tahun menjabat sebagai raja dan usia pun sudah mulai
lanjut, Partigatiga Sipunjung kemudian kembali ke kampung halamannnya ke
Siantar Matio untuk menemui putranya Ali urung untuk menyerahkan
Kerajaan Siantar agar penerus kerajaan itu tidak terputus. Setelah itu
dinobatkanlah Ali Urung jadi Raja Siantar, ia menikah dengan seorang
putri (panak boru) keturunan Partuanon Gajing. Sementara kakak
tirinya, Anggaranim yang berwajah cantik tidak kunjung memperoleh jodoh
sebagai pendamping hidup. Anggaranim pun meresahkan kehidupannya, ia
lalu pergi ke sebuah mata air (sumbul) yang kini dikenal dengan mata air Tapian Suhi Bah Bosar.
Anggaranim Menjelma Jadi Ular
Anggaranim Menjelma Jadi Ular
Guna
menghilangkan rasa gelisah, Anggaranim terus menerus menyendiri di tepi
mata air tersebut. Pada suatu kali, sebuah dahan kayu besar dan tajam
jatuh dan mengenai hidungnya hingga tergores dan mengeluarkan darah.
Karena merasa kecantikannya jadi pudar dan rusak, Anggaranim merasa malu
untuk kembali ke rumah. Ia pun berdoa agar hidungnya sembuh dan kembali
sempurna seperti sedia kala, namun permintaannya itu tidak kunjung
terkabul akibatnya ia terus saja berdiam diri di tepi mata air itu
sambil meratapi nasibnya. Melihat kakaknya selama berhari-hari tidak
kembali, Partigatiga Sipunjung lalu mengutus pesuruh untuk mencari tahu
keberadaan Anggaranim, tidak lama kemudian ia pun ditemukan, ketika
mereka melihat keadaan Anggaranim, mereka sangat terkejut dan segera
melaporkan hal itu kepada Partigatiga Sipunjung. Mendengar berita itu,
ia lalu pergi melihat langsung ke lokasi di mana kakak tirinya itu
berdiam diri. Namun ia pasrah dan tidak mampu mengupayakan agar
Anggaranim dapat sembuh dari musibah yang dialaminya. Keluarga istana
hanya bisa menahan rasa pilu dan mengirimkan bekal makanan untuknya.
Berita ini kemudian meluas ke tengah khalayak, lantas mereka berbondong-bondong pergi ke tempat di mana Anggaranim bersemayam, melihat hal itu ia (Anggaranim) kemudian meminta kepada mereka agar memberikan kain sarung kepadanya yang dinamakan Hiou Sindei (kain ini menyinarkan cahaya berkilauan) agar dijadikan kain penutup tubuhnya. Namun pagi harinya, ketika khalayak ramai itu kembali berkunjung ke tempatnya, mereka sangat terkejut karena melihat tubuh Anggaranim mulai dari ujung kaki sampai pinggulnya telah berubah menjadi seekor ular yang besar, sedang bagian atas tubuhnya masih berwujud manusia. Kabar perubahan Anggaranim menjadi seekor ular besar ini kian meluas ke seluruh penduduk dan kerajaan Simalungun lainnya.
Gambar 1: Lokasi tempat pemandian puteri Anggaranim sekaligus bertapa hingga ranting mengenai wajahnya, tim Komunitas Jejak Simalungun pada gambar tampak sedang membersihkan rimbunan ilalang yang menutupi batu di tempat pemandian itu.
Semakin
hari semakin banyak orang berdatangan menyaksikan kejadian aneh itu.
Penjelmaan tubuh Anggaranim menjadi seekor ular berlangsung terus hingga
sampai ke lehernya, hanya sebatas kepala dan rambut panjangnya yang
masih berwujud manusia. Melihat peristiwa yang menimpa dirinya,
Anggaranim meminta kepada khalayak ramai agar adiknya Partigatiga
Sipunjung segera datang menemuinya bersama anak-anak dan cucunya guna
menyampaikan kata perpisahan. Permintaan ini lalu mereka sampaikan
melalui utusan raja. Partigatiga Sipunjung beserta anak cucunya telah
tiba di tempat dengan diiringi suara gendang tarian bertopeng dan tarian
lain yang ditampilkan guna menghormati Anggaranim yang telah berubah
menjadi ular bersisik yang cantik dan berwarna-warni.
Tarian
kematian dan kesedihan terus berlangsung, dengan penuh haru Anggaranim
menyaksikan peristiwa yang terjadi di hadapannya, namun tidak setetes
pun ia menitikkan air mata. Lagu dan tarian diikuti Anggaranim dengan
menghentakkan ekornya ke air sembari mengangguk-anggukkan kepalanya
sebagai tanda gembira dan menyetujui atas tarian dan gendang itu. Sejak
berkumandangnya gendang dan tari-tarian mengiringi kepergian
Anggaranimini, kemudian dikenal perayaan adat “Horja Turun”. Sebelum
meninggalkan tempat itu, Anggaranim terlebih dahulu menengadahkan
kepalanya ke atas permukaan air, kepada adiknya Partigatiga Sipunjung ia
berpesan "Ada masa datang dan ada masa pergi. Bagiku tibalah saatnya
untuk pergi selama-lamanya dan tak akan kembali. Mohon maafkan segala
dosaku. Dosamu akan tetap berada dan tinggal di dunia dan sebagai
hukuman, kumohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar anak-anak gadismu
jangan pernah mengalami kejadian seperti yang kualami. Hendaknya tidak
menjadi gadis cantik dan mempesona, karena di balik kecantikan itu akan
ada musibah yang menanti". Demikianlah kata-kata terakhir Anggaranim,
lantas seluruh tubuhnya menjelma menjadi seekor ular besar hingga ke
bagian kepalanya, lalu ia pergi menyusuri sungai itu menuju kampung
kristen sekarang ke sebuah sungai yang sekarang disebut Bah Sorma.
Begitu Anggarainim yang menjelma menjadi ular lenyap dari pandangan mereka, tari-tarian dan gendang-gendang kematian masih terus saja berlangsung hingga perlahan berhenti. Khalayak ramai yang menyaksikan kepergiannya kembali ke rumah mereka masing-masing dengan penuh haru dan pilu. Masing-masing mereka saling bertanya mengapa hukuman itu bisa terjadi pada diri Anggaranim. Sejak itu, nama Anggaranim berubah menjadi Nan Sorma atau Puang Sorma sesuai nama sungai Bah Sorma.
Cahaya Aneh
Beberapa
waktu kemudian setelah Nan Sorma lenyap ke dasar sungai bah Sorma,
cahaya aneh tiba-tiba terpancar dari sebuah bukit di Bah Silulu,
kelihatan seperti suatu benda berkilat bak sinar pelangi. Orang kemudian
beramai-ramai menuju ke bukit di mana cahaya itu berada dan mereka
terkejut melihat banyak ular berkeliaran di bukit itu. Mereka menduga
salah satu ular terbesar adalah penjelmaan dari tubuh Anggaranim. Mereka
lalu melaporkan peristiwa itu kepada raja Ali Urung, mereka lalu
berkumpul di tempat tersebut sambil meletakkan sebuah kotak berisikan
sirih. Tak lama kemudian muncullah seekor ular besar wujud dari
Anggaranim alias Nan Sorma. Ia lalu membawa sirih itu, kemudian
mengunyahnya sementara kotak sirih itu ia kembalikan kepada mereka, ia
lalu menghilang ke semak-semak tanpa bekas. Sejak itu tempat di mana
terjadinya peristiwa itu oleh keturunan Raja Siantar dijadikan sebagai
tempat keramat yang mereka namakan Sombaon Nan Sorma.
Sumber:
Buku Sidamanik karangan Tuan Amin Damanik dan Jaramen Damanik
Buku Sidamanik karangan Tuan Amin Damanik dan Jaramen Damanik
0 comments:
Post a Comment