My Blog

Thursday, April 24, 2014

Dinamika Bahasa Simalungun Dialek Bandar

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
(Telah Diterbitkan Di Majalah Sauhur Edisi IX Tahun 2008)

Pengantar
Bahasa Simalungun merupakan media tutur bagi komunitas suku yang mendiami beberapa daerah di kabupaten dan kota di Sumatera Utara, meliputi Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar sebagai wilayah sentral, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Tebing Tinggi, Deli Serdang dan Kota Lubuk Pakam, sebagian Asahan, dan Batu Bara. Bahasa Simalungun sebagai bahasa ibu memiliki peranan penting dalam memaknai kepribadian orang Simalungun atau memanifestasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan Simalungun, baik secara abstrak maupun konkrit.

Petrus Voorhoeve (1955) dalam uraiannya tentang bahasa Batak menyatakan, bahasa Batak dibagi ke dalam 2 rumpun, yaitu rumpun utara (Pakpak, Karo, dan Alas) dan selatan (Toba dan Mandailing-Angkola). Dari kedua rumpun itu, bahasa Simalungun tidak termasuk ke dalam salah satunya, tetapi ia, jelas Voorhoeve, berdiri di antara keduanya, utara maupun selatan. Pada penelitian lanjutan yang dilakukan Adelaar (1981), ia menyatakan bahasa Simalungun sejatinya berasal dari rumpun selatan, yang kemudian memisahkan diri (tidak diketahui penyebabnya) sebelum bahasa Toba dan Mandailing-Angkola terbentuk. Dari uraian ini penulis menyimpulkan bahasa Simalungun lebih tua usianya dibanding ketiga bahasa tersebut, terbukti bahasa Simalungun telah berwujud sebelum ketiga bahasa Batak lainnya terbentuk. Selaras dengan itu, Uli Kozok (1999: 14) menyatakan jika ditilik dari persebaran bahasa dan aksara Batak, bahasa dan aksara Simalungun menurutnya jauh lebih tua dibanding bahasa dan aksara Batak yang lain.

Dalam perkembangannya bahasa Simalungun terus mengalami dinamisasi seiring dengan dinamika hidup yang dilalui masyarakat Simalungun. Beragam fenomena hidup dan pergolakan budaya yang berkepanjangan mulai dari konflik sosial, perpindahan penduduk (migrasi), pernikahan, dan proses asimilasi mengakibatkan pergeseran demi pergeseran terjadi secara berangsur-angsur tanpa ada unsur kesengajaan. Konflik sosial di Simalungun pada zaman dahulu bukanlah suatu keniscayaan, kenyataan sejarah telah membuktikan Kerajaan Raya pada masa Raja Rondahaim Saragih dengan bantuan Partahi pernah memerangi Kerajaan Sidamanik hingga menghanguskan jasad Raja Itok (Tuan Na Hu Langit) dan menewaskan sejumlah kerabat lainnya. Seorang penyumpit burung (pangultop) dari tanah Pakpak dengan kecerdikannya berhasil merebut tahta Pertuanan Purba dari tangan Tuan Simalobong Purba Dasuha. Pertikaian sesama saudara ditunjukkan oleh Raja Rubun kepada saudaranya Tuan Suha Bolag, juga perselisihan antara Purba Sidadolog dengan Sidagambir.

Faktor pemicu terjadinya konflik sosial di tengah masyarakat Simalungun umumnya ditengarai oleh adanya ketidakadilan, ketidakseimbangan, kecemburuan, dan diskriminasi, hal ini ternyata sudah membudaya dan menyatu dalam sendi-sendi kehidupan mereka sejak berabad-abad lamanya dengan beragam peran dan perilaku yang mereka lakoni. Di samping konflik sosial, migrasi dan eksodus besar-besaran dahulu pernah pula terjadi, hal ini diakibatkan mewabahnya penyakit sampar (sejenis kolera) di tengah-tengah mereka yang kala itu dianggap sebagai penyakit yang sangat menakutkan dan sulit untuk terobati. Sebagai solusi mereka kemudian memutuskan mengungsi ke luar daerah, ada yang bertolak ke pulau Samosir, Humbang, Silindung, dan ke Toba. Kelompok lain ada pula yang merantau ke tanah Karo, Deli, Serdang, Padang, Bedagai, Asahan, dan Batubara hingga sampai ke pesisir Selat Malaka. Ketika sampai di perantauan mereka lalu berbaur dengan masyarakat setempat, penyerapan dan perpaduan budaya pun tak terelakkan hingga beregenerasi. Ketika penyakit epidemik itu berakhir, sebagian orang Simalungun kemudian kembali ke kampung halaman mereka, namun tidak sedikit pula yang tetap bertahan di tanah perantauan. Akibat dari eksodus ini, banyak perubahan yang terjadi pada tatanan kehidupan orang Simalungun mulai dari pola hidup, praktik adat istiadat, identitas marga, penggunaan bahasa, dan ideologi.

Beranjak dari fenomena di atas merupakan pemicu lahirnya ragam bahasa berbentuk dialek dalam bahasa Simalungun. Adapun ragam dialek yang dimaksud yaitu dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Panei, Sin Purba, dan Sin Bandar. Dialek Sin Raya dituturkan oleh masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Raya dan Raya Kahean, dialek Sin Dolog dituturkan di Kecamatan Dolog Silou dan Bangun Purba. Sementara untuk dialek Sin Panei dituturkan di Kecamatan Panei, Panombeian Panei, dan Siantar. Dialek Sin Purba dituturkan di Kecamatan Purba, Haranggaol Horisan, Silimakuta, dan Pamatang Silimakuta. Terakhir dialek Sin Bandar dituturkan oleh masyarakat di Kecamatan Bandar, Pamatang Bandar, Bandar Huluan, dan Bandar Masilam serta meluas sampai ke Kecamatan Gunung Malela dan Gunung Maligas, di mana keduanya dahulu merupakan daerah Pertuanan (landscape) dari Distrik Siantar, Dolog Batu Nanggar (Distrik Panei), dan Bosar Maligas (Distrik Tanoh Jawa). Sebagaimana telah dikemukakan pada tulisan terdahulu (Sauhur, Edisi I-II Tahun 2007), dari sekian dialek yang menempati posisi sebagai tolok ukur dan acuan standard berbahasa Simalungun adalah dialek Raya, mengapa? Karena dialek Raya diakui sebagai bahasa yang terbentengi dari pengaruh bahasa di sekelilingnya seperti bahasa Karo, Toba, Mandailing-Angkola, Melayu, dan juga Jawa.

Dialek Bandar
Sebagaimana uraian di atas, sentra penutur dialek Bandar ini mendiami daerah yang secara topografis berada di daerah dataran rendah (hataran) dan hilir (kaheian/jahei) dengan kehidupan sosial masyarakat yang kerap mengadakan kontak dengan masyarakat Melayu di perbatasan Simalungun–Asahan. Komunikasi di antara mereka sudah berlangsung selama ratusan tahun, sehingga tidak menutup peluang terjadinya transformasi budaya dan ideologi, seperti halnya di Kecamatan Bandar Masilam sebagian besar masyarakat Simalungun berbicara dengan bahasa Melayu. Fenomena itu tidaklah mengindikasikan adanya gap dengan komunitas Simalungun yang lain, terutama mereka yang berdomisili di daerah bagian atas (huluan), kenyataan sejarah membuktikan Bandar dahulunya merupakan suatu kerajaan yang sejajar posisinya dengan kerajaan Simalungun lainnya seperti Dolog Silou, Panei, Tanoh Jawa, Siantar, Purba, Silimakuta, dan Raya. Dalam tatanan adat pernikahan, Bandar merupakan “Anak Boru” dari Kerajaan Raya, karena secara organisatoris yang berhak memangku kedudukan sebagai raja di Kerajaan Bandar mesti dilahirkan dari Puang Bolon boru Saragih yang berasal dari Kerajaan Raya.

Jika dilakukan perbandingan dengan pelbagai dialek Bahasa Simalungun yang ada, agaknya dialek Bandar lebih dekat kemiripannya dengan dialek Raya baik ditinjau dari logat, intonasi (langgam) maupun kosa kata. Dari perbandingan kosa kata antara keduanya terlihat secara jelas kemiripan dan ketidakmiripan. Namun, bila dilampirkan secara detail seluruh kosa kata pada kedua dialek, dihasilkan persentase kemiripan lebih menonjol ketimbang ketidakmiripan. Pemakaian kosa kata ini menyebar di beberapa titik daerah, adapun sebagai basis pengguna dialek ini yaitu mereka yang berdomisili di Kecamatan Pamatang Bandar, yang dahulu merupakan ibukota dari Kerajaan Bandar. Masyarakat penutur dialek bandar, mengakui banyak kosa kata yang mengalami perubahan dari bentuk aslinya, dan tidak sedikit pula kosa kata yang dahulu sering digunakan, namun kini sudah jarang dipakai.

Pemakaian kata ganti kepunyaan (posesif) -ni dan -si, lalu fonem akhir h, g, d, b, ui, ou, ei masih konsisten terdapat dalam bahasa Simalungun Sin Bandar. Selain itu, dialek Sin Bandar juga mengenal aksara khusus nya, penggunaan aksara ini sangat akrab digunakan dalam komunikasi, secara teoretis aksara ini diletakkan pada kata kerja dasar (infinitif) yang diawali huruf s dan didahului dengan imbuhan maN- dan paN- seperti pada kata manungkun menjadi manyungkun, manisei—manyisei, manuan—manyuan manerleng—manyerleng. Untuk kata yang berimbuhan paN- terlihat pada kata panungkun—panyungkun, panisei—panyisei, panuan—panyuan, panerleng—panyerleng. Bila merujuk pada aksara Simalungun yang jumlahnya 19 huruf (surat sappuluh siah) aksara ini memang ada ditemukan, namun dalam praktik komunikasi hampir tidak pernah digunakan, barangkali hanya dialek Sin Bandar saja yang mengenal penggunaan aksara ini.

Berkaitan dengan seni sastra, dialek Bandar mengenal cukup banyak kesusasteraan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, di antaranya ada yang digubah ke dalam bentuk nyanyian seperti Doding Mananggei (di luar Bandar menyebutnya dengan Taur-taur Simbandar) dan Inggou Simbandar. Ada pula yang yang disajikan dalam bentuk prosa (turiturian) seperti turiturian Bah Tobu, Tuan Simalango, Keramat Kubah, Pak Boru Na Martuah dan masih banyak cerita rakyat yang lain. Di Bandar juga ditemukan beberapa peninggalan dalam bentuk tulisan, di antaranya Pustaha Parmongmong Bandar Sakuda, pustaha ini terakhir diwarisi oleh Tuan Alip Damanik Bariba.

Pengaruh dan Latar Belakang
Pada era dewasa ini pemakaian dialek Bandar sebagai bahasa komunikasi secara perlahan telah mengalami pergeseran, sebagian besar masyarakat lebih senang menggunakan bahasa Indonesia dan sebagian lagi ada yang lebih gemar berbahasa Jawa, hal ini terjadi disebabkan derasnya pengaruh komunitas suku Jawa yang populasinya lebih besar ketimbang suku Simalungun, keadaan ini mendeskripsikan bahwa komunitas Simalungun di daerah ini mengalami himpitan berat yang sudah terlanjur basah sulit untuk dibebaskan. Hakikatnya jika melihat pada situasi saat ini pengguna bahasa Simalungun khususnya dialek Sin Bandar hanya tinggal segelintir saja jumlahnya bila dibandingkan dengan mereka yang sudah beralih (salih) ke bahasa lain.

Selain itu, dialek Bandar juga banyak dipengaruhi bahasa Toba, pada daftar perbandingan kosa kata di atas terlihat adanya beberapa kemiripan kosa kata. Keberadaan komunitas suku Toba di daerah Bandar jumlahnya juga cukup signifikan dan pengaruh bahasa mereka secara otomotis juga sulit dibendung, namun karena perbedaan keyakinan ideologi di antara kedua komunitas pergaulan di antara mereka pun tidak seutuhnya berjalan efektif, meski mereka hidup berdampingan. Masuknya imigran Toba ke Simalungun terutama ke Bandar diawali sejak melemahnya kekuatan Raja Bandar membendung arus imigrasi kaum pendatang, sehingga memicu meledaknya perpindahan penduduk secara besar-besaran baik yang datang dari Tapanuli Utara maupun Tapanuli Selatan. Hal ini sudah berlangsung lama, namun derasnya gelombang migrasi ini terjadi pada masa kepemimpinan Raja Bandar ke-6, Tuan Sawadim Damanik. Lemahnya kekuatan Raja Bandar tidak lain disebabkan taktik politik kaum Kolonial Belanda (Devide et Impera), di mana menjadikan mereka (para Raja Bandar) sebagai boneka yang bisa diatur dan dikelabui demi tercapainya tujuan mereka, pihak kolonial.

Strategi kolonial ini ternyata berjalan mulus, dan akhirnya pasca diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia, berbondong-bondong masyarakat Simalungun menentang dan meruntuhkan kedaulatan para raja dengan mengusung isu feodalisme dan anti-kolonial dengan sebutan Revolusi Sosial. Kerajaan Bandar yang kala itu sudah dipangku oleh Tuan Distabulan Damanik ternyata tak luput dari ancaman, dengan bantuan sekelompok orang Toba, ia berhasil menyelamatkan diri. Atas bantuan  mereka, Distabulan kemudian menghadiahkan kepada mereka beberapa bidang tanah untuk dijadikan pemukiman.

Terkait eksistensi Suku Tapanuli di Simalungun, khususnya di Bandar, keberadaan mereka ternyata mendapat tantangan dan kecaman yang besar dari suku pribumi (Simalungun) mereka tidak begitu saja mau menerima kehadiran mereka, suku Tapanuli, terbukti tidak sedikit dari mereka yang dijadikan sebagai budak belian para raja dan kelompok masyarakat biasa (paruma). Untuk meredam hal ini, maka banyak dari mereka yang berafiliasi dengan orang Simalungun, menyembunyikan jati diri asli mereka dan mengaku sebagai orang Simalungun. Di antara marga-marga Tapanuli yang berafiliasi dengan marga Simalungun di wilayah kedaulatan kerajaan Bandar, yaitu Silalahi (Simandalahi), Sipayung, Tambunan (Tambun), Manurung, Sitorus, Sirait, Butar-Butar (Sidabutar), dan Sinurat. Marga-marga ini umumnya menyatukan diri ke dalam sub marga Sinaga.

Berbagai pergolakan yang terjadi merupakan penyebab dasar lumpuhnya kekuatan Simalungun, sehingga berimplikasi pada ketidakpercayaan diri untuk mempertahankan apa yang menjadi hak mereka. Sebagai contoh seorang Simalungun akan menjadi Toba bila bergaul dengan orang Toba, demikian juga ia akan menjadi Karo bila sering berhubungan dengan orang Karo, begitulah seterusnya. Proses penyatuan diri yang kerap dilakukan orang Simalungun ke dalam komunitas lain, secara otomatis akan menghapuskan jati diri mereka sebagai orang Simalungun, barangkali ia akan merasa enggan berbicara dalam bahasa Simalungun, berbudaya ala Simalungun, dan lebih lanjut ia pun akan dengan mudahnya mengganti marganya dengan marga dari komunitas yang ia masuki. Sungguh memilukan…!!!

Simpulan
Dari sekelumit uraian di atas disimpulkan bahwa Bahasa Simalungun mengenal beberapa dialek yang tersebar di seluruh Kabupaten Simalungun bahkan menembus sampai ke luar. Masing-masing dialek satu sama lain memiliki perbedaan, bahkan dalam melakukan komunikasi antar silang dialek mereka tidak saling memahami. Di wilayah Bandar yang secara geografis berbatasan dengan daerah Melayu Asahan-Batubara, komunikasi dalam bahasa Simalungun masih tetap eksis digunakan, namun demikian pengaruh bahasa Melayu sedikit banyak turut mewarnai perkembangannya, itu terlihat dari kosa kata (leksikal) dan sistem bunyi (fonetik) yang terdapat di dalamnya. Selain itu dialek Sin Bandar juga mendapat pengaruh dari bahasa Toba dan Jawa. Maka bukanlah suatu pemandangan yang mengherankan bila di beberapa titik di wilayah Bandar dijumpai sekelompok masyarakat yang lebih aktif menggunakan bahasa Toba atau Jawa ketimbang bahasa Simalungun.

Pergolakan sosial-politik dan budaya yang menyelimuti suku Simalungun selama berabad-abad sangat berperan dalam menggilas dan melumpuhkan kebudayaan Simalungun, hal ini berimplikasi buruk pula terhadap perkembangan bahasa. Kepribadian mereka yang selalu bertimbang rasa dan merasa terisolir yang kerap diperankan orang Simalungun mengakibatkan diri dan apa yang mereka miliki praktis terabaikan.

0 comments:

Post a Comment